Ditemukannya
mesin cetak mendorong perkembangan media cetak. Surat kabar atau majalah
merupakan media penyebar informasi yang dimanfaatkan oleh khalayak (Budiyanto,
2005:46). Media massa pun baru ditemukan tahun 1920-an, istilah media dan media
massa mempunyai pengertian yang berbeda. Media adalah alat/saluran untuk
menyampaikan informasi/data, sedangkan media massa adalah alat/saluran untuk
menyampaikan informasi/data kepada khalayak ramai/luas (Mas Agus Firmansyah,
2011). Yudisiani, M. Si (2011) mengatakan bahwa, ditemukannya mesin cetak dan
media yang menyebarkan informasi kepada khalayak dan khalayak bereaksi sesuai
dengan prediksi, sehingga menciptakan ikatan kelompok/komunitas.
Dalam kehidupannya
manusia senantiasa hidup berkelompok dan bermasyarakat atau istilahnya Zoon
Politicon menurut Aristoteles. Dengan hidup berkelompok, manusia dapat memenuhi
kebutuhannya. Dan melalui kelompok-kelompok sosial manusia melakukan interaksi
sosial. Interaksi sosial antar kelompok dalam bentuk yang besar itulah yang
disebut dengan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat didefinisikan
sebagai sekelompok manusia yang saling berhubungan secara timbal balik dan didasari
oleh kepentingan yang sama.
Konsep
masyarakat erat hubungannya dengan lingkungan, di mana ketika seseorang
berinteraksi dengan sesama, maka lingkungan ikut menjadi faktor yang
mempengaruhi sikap, kelakuan, kebiasaan, dan lain-lain yang ada di lingkungannya.
Ferdinand Tonnies, dalam ilmu sosiologi mengelompokkan masyarakat menjadi dua
macam yaitu: 1) Masyarakat Paguyuban (Gemeinschaft) merupakan masyarakat yang
ditandai dengan hubungan antara anggota-anggota warga berdasarkan ikatan
kekeluargaan yang sangat mendalam (batiniah) dengan perwujudan rasa cinta, rasa
solidaritas yang tinggi, dan pengorbanan tanpa pamrih; 2) Masyarakat Patembayan
(Gesselschaft) merupakan masyarakat yang ditandai dengan hubungan antara
anggota-anggota warga yang lebih mengutamakan pamrih, ikatan yang lemah, dan
bersifat materi/kebendaan.
Dalam
realita sosial yang lebih konkrit dalam hidup bermasyarakat, maka manusia
senantiasa dibumbui dengan berbagai benturan kepentingan yang berbeda sebagai
cermin manusia sebagai makhluk individu: manusia memiliki karakteristik
tertentu yang membedakannya dengan manusia yang lain, yakni cenderung ingin
menang sendiri dan mementingkan kepentingan pribadi walaupun di satu sisi tidak
bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Di sini jelas hakikatnya bahwa manusia
bersifat monodualis, artinya manusia selain sebagai makhluk individu sekaligus
sebagai makhluk sosial. Dan apabila kita hubungkan antara konsep Masyarakat
Patembayan (Gesselschaft) yang dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies dengan konsep
manusia sebagai makhluk individu, maka akan tampak keterkaitan satu sama lain
apalagi kalau kita melihat fenomena yang terjadi pada saat ini.
Dewasa
ini Masyarakat Paguyuban (Gemeinschaft) yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kekerabatan walaupun masih ada tetapi bisa dikatakan sudah mulai luntur
terkikis perubahan zaman. Sekarang ini sifat-sifat individual manusia lebih
menonjol dan kecenderungan untuk tidak mau peduli dengan orang lain sudah mulai
menjadi benih-benih yang mengkhawatirkan. Segala sesuatu diperhatikan atas
untung dan rugi serta penyakit malas tidak mempunyai motivasi jika yang
dikerjakan tidak memberikan kontribusi sebanding dengan apa yang dikerjakan.
Kondisi yang lambat laun tidak menutup kemungkinan akan mengakar dalam
kehidupan masyarakat, jika nilai dan norma yang berlaku tidak menjadi pegangan
atas landasan. Jadi sangat beralasan jika kami mengutip salah satu iklan di
televisi yaitu “susah lihat orang senang, senang lihat orang susah”. Ungkapan
yang bermakna sindiran namun begitu melekat dalam kondisi masyarakat pada saat
ini walaupun tidak seluruhnya. Betapa tidak, pada saat ini masyarakat semakin
acuh tak acuh dengan keadaan sekitarnya.
Dan
lebih mirisnya lagi muncul berbagai asumsi-asumsi negatif dan tidak
menyenangkan yang dilontarkan jika melihat orang lain mencapai suatu
kesuksesan. Aneh, namun realita sosial ini terjadi dalam masyarakat. Lebih
besar lagi masyarakat dan realita sosial yang memprihatinkan kita jumpai dan
saksikan dalam tayangan-tayangan di televisi. Lihatlah stasiun televisi
sekarang berlomba-lomba menyajikan program-program reality show yang
menjanjikan hadiah miliaran rupiah. Semakin tinggi hadiahnya semakin tinggi
pula rating program televisi tersebut. Ironisnya, pemegang hadiah tersebut
notabenenya adalah orang-orang yang dari segi pendapatan mempunyai penghasilan
yang sudah layak sedangkan masyarakat dari golongan bahwa hanya bisa menjadi
penonton setia sekaligus gigit jari menyaksikan tayangan tersebut dan
membayangkan dalam khayalan, jika hadiah itu menjadi milik mereka. Namun sayang
hanya sebatas khayalan yang jauh dari harapan. Jauh panggang dari api. Ini
berarti seharusnya angka kemiskinan di Indonesia tidak separah yang diberikan,
buktinya di tengah keprihatinan kita terhadap masyarakat miskin ternyata negeri
ini memiliki orang-orang kaya yang justru menghambur-hamburkan uang yang
ternyata tidak tepat sasaran.
Tidak
tepat sasaran menurut persepsi kami tetapi tidak menurut mereka yang memiliki
uang tersebut, toh itu semua adalah uang mereka dan terserah mereka pula bagaimana
memanfaatkannya. Namun tentunya kita sepakat menyetujui bahwa alangkah lebih
bermanfaat lagi jika hadiah milyaran rupiah tersebut digunakan untuk
kepentingan saudara-saudara kita yang kekurangan, membantu meringankan beban
saudara-saudara kita yang ada di Sidoarjo, korban lumpur Lapindo dan masih
banyak lagi realita sosial yang menjadi problema yang seharusnya menjadi
prioritas utama untuk ditangani.
Kami menggemari bahkan kami yakin kita semua akan menggemari dan ingin menyaksikan lagi program-program reality show seperti Uang Kaget dan Bedah Rumah di RCTI, program Tolong di SCTV, program Pulang Kampung di Trans 7, program Jika Aku Menjadi di Trans TV, dan beraneka macam lagi program sejenis yang lebih mendidik dan berguna karena menyentuh masyarakat golongan bawah. Dengan adanya program tayangan seperti itu, kita dapat belajar banyak tentang kejadian-kejadian yang terjadi sekitar kita yaitu betapa pentingnya kita mensyukuri apa yang telah kita miliki dan mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita. Sangat tepat jika kita mengambil ungkapan orang bijak bahwa “Untuk Maju Lihat ke Atas dan Untuk Bersyukur Lihat ke Bawah”.
Kami menggemari bahkan kami yakin kita semua akan menggemari dan ingin menyaksikan lagi program-program reality show seperti Uang Kaget dan Bedah Rumah di RCTI, program Tolong di SCTV, program Pulang Kampung di Trans 7, program Jika Aku Menjadi di Trans TV, dan beraneka macam lagi program sejenis yang lebih mendidik dan berguna karena menyentuh masyarakat golongan bawah. Dengan adanya program tayangan seperti itu, kita dapat belajar banyak tentang kejadian-kejadian yang terjadi sekitar kita yaitu betapa pentingnya kita mensyukuri apa yang telah kita miliki dan mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita. Sangat tepat jika kita mengambil ungkapan orang bijak bahwa “Untuk Maju Lihat ke Atas dan Untuk Bersyukur Lihat ke Bawah”.
Media
Massa pun banyak membuat suatu realita sosial, yakni :
1. Realitas
Sosial Kepolisian Republik Indonesia
Di
dalam ranah panggung depan polisi seringkali di anggap oleh masyarakat
Indonesia sebagai sosok yang menakutkan, sebagai contoh ketika
masyarakat kehilangan seekor kambing masyarakat akan berimajinasi apabila
melaporkan kehilangan tersebut ke kepolisian, maka kekawatiran sapinya pun akan
hilang. Maksudnya, berbelit-belitnya birokrasi di kepolisian mulai dari biaya
mendatangkan saksi di pengadilan, besarnya uang untuk membayar seorang
pengacara bila diperlukan hingga biaya pulang pergi ke kepolisian. Tetapi media
massa mampu menyiarkan sudut pandang yang berbeda dari kepolisian, kemunculan
Briptu Nurman Kamaru yang berawal dari lifsing lagu chaiya-chaiya yang di
upload ke Youtube. Selama dua pekan Briptu Norman Kamaru bersama lifsingnya di
dipublikasikan berbagai media massa di Indonesia. Hal ini berakibat naiknya
kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian, Briptu Norman Kamaru pun memiliki
Triple fungsi ditengah masyarakat yakni, melindungi, mengayomi dan sekaligus
menghibur.
2. Realitas
Sosial Dewan Perwakilan Rakyat
Perspektif
Dramaturgis Goffman menyatakan bahwa back stage harus merupakan sesuatu yang
berbeda dibandingkan front stage, dimana peristiwa sosial ditampilkan secara
formal dan sosok diri ditampilkan seideal mungkin di front stage dan perilaku
yang bukan umum karena kacaunya istilah panggung politik, maka penelitian ini
telah dapat dimodifikasi dan mengembangkan perspektif Goffman bagi tim atau
politisi lainnya sehingga kekerasan itu bisa terjadi baik dipanggung depan,
terjadi dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis, penelitian
juga berhasil menemukan terminology kekerasan yang terkait dengan penyampaian
pesan politik sebagai “premanisme” politik (Lely Arrianie, 2010:V).
Hal
ini dibuktikan dengan tingkah laku salah satu anggota DPR RI dari fraksi partai
PKS Arifinto yang kedapatan oleh wartawan Media Group sedang menonton video
porno ketika sedang berlansungnya sidang paripurna DPR belum lama ini. Jadi
jelas terlihat apapun alibi maupun alasan Arifinto sudah menampilkan sosok yang
tidak seharusnya dia tampilkan di front stage. Padahal itu merupakan back stage
bagi dirinya sendiri.
3. Realitas
Sosial Pelawak
Media
massa membuat suatu program yang fungsinya untuk menghibur khalayak . sebagai
contoh program Opera Van Java di Stasiun TV Trans7 menampilkan pola tingkah
laku pelawak yang menghibur masyarakat dengan lelucon-lelucon yang dibuat oleh
pelawak tersebut. Bagaimana Parto memegang peranan sebagai dalang yang
mengkoordinir Sule, Azis, Nunung dan Andre dan lain-lain. Dengan begitu
sebenarnya Parto mengarahkan para pelawak Opera Van Java tersebut. Akan tetapi,
suatu ketika mau pulang dari syuting OVJ Parto diwawancarai oleh
para wartawan mengenai kenapa dia beristri lagi. Dengan emosinya Parto
mengeluarkan pistol dari balik bajunya , dan menembakan senjata api tersebut ke
arah atap gedung. Hal ini membuat wartawan menjerit ketakutan.
4. Realitas
Sosial Presiden Republik Indonesia
Dalam
pandangan Offe, pemerintahan merupakan hasil tindakan administratif
dalam berbagai bidang. Pemerintahan bukan merupakan hasil pelaksanaan tugas
pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sebelumnya;
tetapi lebih merupakan hasil kegiatan produksi
bersama (corproduction) antara lembaga pemerintahan dengan klien masing-masing.
Media
massa pun berhasil menampilkan sebuah realita sosial seperti apa sosok presiden
Republik Indonesia yang pada setiap pidato seringkali memnyebut demi
kepentingan dan kemakmuran Rakyat Indonesia, akan tetapi pada kesempatan lain
pun skenario yang dimainkan oleh presiden berubah demi mempertahankan koalisi
partai yang mengusungnya yang dikenal dengan istilah “Setgab” atau
demi kepentingan partainya sendiri.
Hal
ini tampak mengejala ketika begitu banyaknya desakan dari partai oposisi agar
Presiden Republik Indonesia mundur dari jabatannya karena lebih mementingkan
partai pengusung daripada kesejahteraan rakyat, akan tetapi dengan kekuatan
lobi-lobi politik ternyata tuntutan ini hanya ibarat “buah simalakama” mau
dimakan meracuni tidak dimakan malah membunuh. Partai oposisi berdebat bahkan
terpecah akibat keputusannya itu.
Memang
baik presiden dan Media memiliki kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap
publik. Apa yang di anggap penting oleh media seringkali penting pula bagi
khalayak.
Dengan
demikian realita sosial “susah lihat orang senang, senang lihat orang susah”
seiring waktu berjalan berubah menjadi “susah lihat orang susah, senang lihat
orang senang”.