a.
Teori Pers Otoriter
Teori ini muncul di iklim otoritarian,
akhir jaman Renaisans pada abad 16 dan 17, setelah ditemukannya mesin cetak.
Teori ini menganggap bahwa raja atau penguasa adalah pemilik kebenaran karena
mereka memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan. Kebenaran bukan
berasal dari masyarakat, melainkan dari orang-orang bijak yang membimbing dan
mengarahkan pengikutnya. Oleh karena itu, setiap orang yang menentang atau pun
meragukan ideologi dari penguasa dapat dikenai hukuman. Cara-cara yang dapat
dilakukan untuk mengontrol pers ada tiga, yaitu menyensor materi yang akan
dicetak atau disiarkan, menyuap editor agar mau mengikuti kemauan pemerintah,
dan mengancam pers dengan hukuman penjara.
Pers di jaman ini pun menjadi sangat
pasif. Mereka hanya digunakan sebagai alat untuk menyampaikan informasi tentang
kebijakan pemerintah untuk mendukung posisi kepemimpinannya sendiri. Sehingga
pers kehilangan fungsinya sebagai pengawas pemerintahan dan hanya mengabdi pada
kepentingan penguasa. Dan yang boleh memiliki pers hanyalah kelompok atau orang
tertentu yang mendapat ijin khusus dari penguasa itu sendiri.
b.
Teori Pers Liberal
Teori ini disebut juga teori kebebasan
pers, di mana pers menuntut kebebasan yang sepenuhnya. Teori ini mengungkapkan
bahwa manusia sudah dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana
yang baik dan yang buruk. Kebenaran bukan lagi milik penguasa, melainkan
merupakan hak asasi manusia untuk mencarinya. Oleh karena itu, di sini pers
berfungsi sebagai mitra untuk mencari kebenaran dengan cara memberikan bukti
dan argumen untuk landasan dalam mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap.
Sehingga pers sendiri memiliki tujuan untuk menemukan kebenaran, memberi
informasi, menafsirkan, dan menghibur masyarakat.
Munculnya teori ini pun didasari oleh asumsi-asumsi dasar
filosofis sebagai berikut :
- Hakikat manusia
- Hakikat masyarakat
- Hakikat negara
- Hakikat pengetahuan dan kebenaran
Ada tiga hal yang menyebabkan pers sangat menentang adanya
proses penyensoran, yaitu :
- Sensor melanggar hak alamiah manusia
untuk berekspresi dengan bebas.
- Sensor bisa menguntungkan salah satu
pihak dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.
- Sensor menghalangi masyarakat untuk
mencari kebenaran.
c.
Teori Pers Tanggung
Jawab Sosial
Teori ini muncul pada abad ke-20 di
Amerika Serikat. Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa kebebasan itu
juga mengandung tanggung jawab yang sepadan, di mana pers memiliki tanggung
jawab untuk menginformasikan, mendidik, dan memajukan masyarakat. Dan di sini,
media berperan dalam mengindikasikan sebuah cerminan tentang keanekaragaman
dalam masyarakat dan juga sebagai akses untuk melihat dari berbagai sudut
pandang. Sehingga, opini masyarakat, etika, dan reaksi konsumen lah yang
menjadi kontrol atas kinerja pers. Selain itu, tak jarang terjadi munculnya
konflik yang dapat membawa masyarakat ke forum diskusi untuk menyelesaikan
suatu permasalahan.
Di Amerika Serikat, amandemen pertama
dalam konstitusi AS tahun 1774 telah melarang pemerintah atau negara untuk
membuat aturan yang membatasi atau menghalangi kebebasan pers. Dan komisi
kebebasan pers yang dimiliki oleh AS telah memberikan daftar materi yang harus
diperhatikan sebagai kewajiban pers terhadap masyarakat, yaitu adanya berita
yang bersifat informatif, mengandung kebenaran, keakuratan, objektifitas, dan
memiliki komposisi yang seimbang atau proporsional.
Ada enam tugas pokok yang harus dilakukan oleh pers dalam
teori tanggung jawab sosial ini, yaitu :
- Melayani sistem politik dengan
menyediakan informasi, diskusi, dan perdebatan dalam masyarakat.
- Memberi penerangan agar masyarakat
dapat mengambil sikap atas fenomena yang terjadi di sekelilingnya.
- Menjaga hak perorangan dengan cara
mengawasi jalannya pemerintahan.
- Melayani sistem ekonomi melalui
penayangan iklan untuk mempertemukan penjual dengan pembeli secara tidak
langsung.
- Hiburan
- Mengupayakan biaya sendiri agar tidak
tergantung terhadap orang atau kelompok tertentu.
d.
Teori Pers Soviet
Komunis
Teori
ini muncul saat Uni Soviet masih berdiri, disertai dengan tradisi Marxis. Teori
ini menganggap bahwa dalam suatu masyarakat, orang-orang seharusnya tidak
berbeda pandangan, musyawarah tanda kelemahan, dan hanya ada satu pandangan
yang benar yang dapat dipertemukan dan dipertahankan, disebarkan, dan
digalakkan. Sesungguhnya
kekuasaan bersifat sosial dan berada pada pribadi tiap orang, tersembunyi di
lembaga sosial, dan dipancarkan dalam tindakan masyarakat. Namun, pers sendiri
hanya digunakan sebagai alat propaganda dan agitasi yang selalu terkait dengan
kekuasaan dan pengaruh partai. Sehingga tidak dimungkinkan adanya kepemilikan
pers yang bersifat privat.