5.06.2012

Keadilan Gender


BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Yang membedakan hanyalah prestasi dan kualitas takwa. Dan bicara soal takwa, hanya Tuhan semata yang berhak melakukan penilaian.
Tujuan hakiki dari semua agama adalah membina manusia agar menjadi baik dalam semua aspek: fisik, mental, moral, spiritual, dan aspek sosialnya. Intisari dari semua ajaran agama berkisar pada penjelasan tentang masalah baik dan buruk. Yakni menjelaskan mana perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa kepada kebahagiaan, dan mana perbuatan buruk yang membawa kepada bencana dan kesengsaraan. Agama memberikan seperangkat tuntunan kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan dan ketenteraman manusia itu sendiri. Tuhan, Sang Pencipta, sama sekali tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan, sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunan-Nya.
Salah satu tuntunan agama yang mendasar adalah keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender, ras, suku bangsa, dan bahkan agama. Karena itu, setiap agama mempunyai dua aspek ajaran: ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Islam misalnya, memiliki ajaran yang menekankan pada dua aspek sekaligus: aspek vertikal dan aspek horizontal. Yang pertama berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar-sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Penulisngnya, dimensi horizontal ini tidak terwujud dengan baik dalam kehidupan penganutnya, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya.
Tauhid adalah  inti ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana berketuhanan, dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.
Karena betapa pentingnya sebuah keharmonisan antara sesama maka penulis bermaksud mengangkat tema mengenai keadilan gender. Di mana hal ini sering saja membuat kisruh dan terus menjadi persoalan bangsa yang tak kunjung usai. Karena, masyarakat kurang mengetahui bagaimana keberadaaan keadilan gender tersebut.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas penulis dapat merumuskan masalah yakni: bagaimana presepsi keadilan gender menurut Islam?

C.    TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yakni:
1.      Untuk mengetahui apa pengertian keadilan gender.
2.      Untuk mengetahui bagaimana kedudukan dan peran pria dan wanita dalam pandangan Islam.
3.      Untuk mengetahui apakah masalah yang sering muncul mengenai keadilan gender..
4.      Untuk mengetahui contoh-contoh kongkrit mengenai keadilan gender.

D.    MANFAAT PENULISAN
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1.         Bagi Masyarakat, kiranya dengan membaca makalah ini, Insya Allah presepsi kita mengenai keadilan gender dapat diluruskan. Dan dapat diaplimentasikan dalam kehidupan sehari-hari.
2.         Bagi Mahasiswa, kiranya dapat bersikap adil dalam menempatkan gender ddalam sebuah organisasi pada umunya.
3.         Bagi kelompok I, dengan adanya makalah ini. Di harapkan bisa memberi kita ilmu dan pengetahuan yang nantinya sangat bermanfaat bagi kehidupan kita kedepan.

BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN KEADILAN GENDER
1.      Pengertian Keadilan
Menurut A.A Wakinto dalam Kamus Praktis Bahasa Indonesia (2010 : 6) keadilan merupakan sikap tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang kepada kebenaran, sepatutnya, dan  tidak semena-mena terhadap apa yang menjadi haknya. Selain itu, keadilan menurut Sukri dalam mata pelajaran politik Unhas (tanggal 11 Oktober 2010) mengatakan bahwa: keadilan merupakan suatu sikap yang sulit diterapkan akan tetapi menuju ke arahnya itu dapat diusahakan. Tentunya sesuai dengan kapasitas serta sikon yang ada.
2.      Pengertian Gender
Menurut Shorwalter, wacana Gender mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu Gender (gender discourse). Dimana sebelumnya istilah sex dan gender digunakan secara rancu. Menurut Sri Sundari S dalam bukunya Kesetaraan gender (2010 : 35) mengemukakan bahwa:

Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Selain itu menurut Lips (dalam Stevenson, 1994) “sex” merupakan istilah bagi kondisi biologis seseorang, yaitu jantan dan betina. Dan juga Ataumal E dan Femal E. Money (dalam Stevenson, 1994) menyebutkan bahwa, fenomena biologis ini terkait erat dengan susunan kromosom, gen dan pengaruh hormon dalam tubuh manusia tersebut. Sedangkan menurut Deaux (dalam Stevenson, 1994) istilah “gender” mengacu pada kondisi psikologis atau kategori sosial yang diasosiasikan dengan keadaan biologis seseorang. Hal senada juga disampaikan oleh Lips (dalam Stevenson, 1994) yang menyatakan bahwa gender adalah aspek non-fisiologis dari sex, harapan budaya terhadap femininitas dan maskulinitas.
Sehingga bila dibandingkan antara Sex/jenis kelamin dengan  gender memiliki banyak perbedaan  antara lain: Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.
Jadi, penulis dapat menyimpulkan bahwa keadilan gender adalah sikap tidak memihak, melihat kapasitas serta sikon yang terjadi, dan mengkritisi perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

B.     KEDUDUKAN DAN PERAN PRIA DAN LELAKI DALAM PANDANGAN ISLAM
Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan,
keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan
alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender
dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos
(manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat
menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai
derajat abadi sesungguhnya.
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam
menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat tidak
ditemukan ayat Al-Qur’an atau  Hadits yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya.
Sebaliknya al-Alqur’an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif
menekuni berbagai profesi.
Jender merupakan pandangan yang diyakini oleh masyarakat tentang bagaimana seharusnya perempuan dan  laki-laki bertingkah laku atau berfikir. Misalnya perempuan ideal itu harus tinggal di rumah, pintar memasak, pintar merawat diri, harus mengurus rumah, suami dan anak-anak, lemah lembut, sopan santun atau keyakinan masyarakat bahwa perempuan  itu adalah makhluk yang sensitif, emosional dan lebih mengedepankan perasaan. Sedangkan laki-laki adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab menafkahi keluarga, berjiwa pemimpin, rasional dan tegas. Dengan kata lain perempuan ideal yang diyakini masyarakat adalah perempuan yang berada di wilayah domestik, mengurus rumah dan anak-anak. Sedangkan laki-laki ideal adalah yang berada di wilayah publik, berperan sebagai pengambil keputusan dan pemimpin keluarga.
Akibatnya bagi perempuan, mereka akan selalu berada di wilayah domestik. Akan terus berada di dalam’sarang’ yang telah terbentuk sehingga mereka tidak menjadi mandiri dikarenakan semua keputusan sudah ditetapkan oleh pihak laki-laki. Keadaan ini juga menyebabkan perempuan menjadi ”tidak tahu dunia”, tidak mengetahui apa yang terjadi diluar’sarang’mereka. Situasi ini menyebabkan mereka menjadi pihak nomor dua, yang tidak dipandang keberadaannya. Dianggap sebagai makhluk yang tidak pantas untuk mengambil keputusan dan tidak becus memimpin.
Sedangkan bagi laki-laki, jika konsep ideal itu tidak bisa mereka capai, mereka akan menjadi stress karena tidak mampu menafkahi keluarga, dan tidak mampu memimpin keluarga, padahal selalu dianggap nomor satu. Tentu saja keadaan seperti ini tidak kita inginkan. Apa yang diyakini benar oleh masyarakat ini tidak berdasar, karena dalam kitab suci manapun tidak pernah disebutkan pelabelan laki-laki dan perempuan seperti yang diyakini masyarakat tersebut. Karenanya konsep jender itu sendiri bisa berubah-ubah tergantung waktu dan budaya.
Badan Internasional seperti PBB sudah dari sejak berdirinya pada tahun 1945 telah mencanangkan kesetaraan jender sebagai bagian mendasar dari hak asasi manusia. Sejak saat itu pula, sudah banyak strategi yang dibuat untuk meningkatkan peran serta perempuan dalam pembangunan, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dinegara-negara anggota PBB.
Jika PBB baru mulai melaksanakan kegiatan tersebut di awal-awal abad 20an, Islam sejak 15 abad silam sudah memberikan status setara bagi perempuan dan laki-laki. Coba kita perhatikan surat Al-Isra ayat 70 yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan memiliki akal, dan perasaan. Oleh karenanya Al-qur’an sama sekali tidak pernah mengenal pembedaan laki-laki dan perempuan. Kedua makhluk ciptaan Allah tersebut mempunyai kedudukan dan derajat yang sama.
Banyak ayat yang mempunyai semangat yang sama seperti Al-Isra ayat 70 tadi. Sebut saja diantaranya surat Ar-Rum ayat 21, An-Nisa ayat 1, surat al Hujurat ayat 13 yang intinya menberitahukan bahwa Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan agar mereka saling mengenal, agar mereka saling mengasihi dan mencintai, agar nantinya lahir laki-laki dan perempuan lain untuk saling mengenal. Ayat-ayat di atas memberitahukan pada kita bahwa adanya hubungan timbal balik antara laki-laki dan perempuan dan tidak ada satupun yang menunjukkan bahwa adanya superioritas satu jenis atas jenis yang lain.
Selain itu surat Al-Isra, Ar-Ruum, Al-Hujurat, ada juga surat Ali Imran 195, An-Nisa 124, An-Nahl 97, At-Taubah 71-72, dan Al-Ahzab 35. Ayat-ayat tersebut memberitahukan bahwa Allah telah menunjuk baik laki-laki dan perempuan untuk menegakkan nilai Islam dengan cara beriman, bertakwa, dan beramal. Allah juga sudah menunjukkan peran dan tanggung jawab yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan spiritualnya. Allah juga memberikan sanksi bagi laki-laki dan perempuan atas kesalahan yang masing-masing telah mereka lakukan. Ini menunjukkan bahwa bagi Allah, laki-laki dan perempuan itu sama, yang membedakan mereka hanyalah ketaqwaannya.
Bukan itu saja, Ayat ayat tersebut di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesiona, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yan sama meraih prestasi yang optimal. Namun dalam realitas masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena msih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit
diselesaikan.
Dengan demikian, keadilan gender dalam Islam adalah suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa dan negara. Keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai: hamba Tuhan (kapasitasnya sebagai hamba,  laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya:


C.    MASALAH YANG SERING MUNCUL DALAM MENGENAI KEADILAN GENDER
Informasi tentang kesetaraan jender sering sekali tidak dipahami oleh semua masyarakat. Ini disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang sudah bias, seolah-olah bertentangan dengan agama. Pemahaman ini tidak hanya salah, tapi juga sudah melupakan semangat Al-qur’an yang ingin membebaskan kaum tertindas, termasuk perempuan. Informasi yang seperti ini sangat tidak mencerahkan, bahkan membawa ummat mundur ke masa lalu di mana saat itu perempuan hanya menjadi objek dan makhluk yang hanya berada di wilayah domestik (rumah tangga).
Informasi yang salah ini menyebabkan munculnya ketidakadilan terhadap perempuan dengan dalih agama. Hal ini disebabkan karena faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkhi sehingga menimbulkan sikap dan perilaku yang turun temurun diwariskan tentang ketidakadilan jender ini. Hal inilah yang menyebabkan mitos yang salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir ajaran agama yang keliru tentang keunggulan laki-laki dan melemahkan kaum perempuan. Di antara mitos itu adalah :
1.      adanya keyakinan bahwa perempuan itu terbentuk dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan dianggap sebagai makhluk kelas dua yang tidak akan ada tanpa kehadiran laki-laki. Karena kepercayaan pada mitos ini memnyebabkan keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan untuk tunduk pada kekuasaan laki-laki.
2.       keyakinan bahwa perempuan sebagai penyebab mengapa manusia terusir dari surga sehingga perempuan dipandang dengan jijik, rasa benci dan curiga. Lebih jauh lagi perempuan dipandang sebagai sumber malapetaka.
Al-qur’an tidak pernah mengajarkan tentang diskriminasi (pembedaan) laki-laki dan perempuan. Apa yang Al-qur’an ajarkan adalah perempuan dan laki-laki mempunyai posisi yang sama dihadapan Allah. Oleh karena itu pandangan yang menyudutkan perempuan sudah selayaknya kita ubah, karena yang diajarkan Alqur’an itu adalah keadilan, keamanan dan ketentraman, mengajak pada yang baik dan mencegah yang mungkar. Inilah sebenarnya tujuan dari syari’at. Jika selama ini kita menemukan penafsiran-penafsiran yang memojokkan jenis kelamin tertentu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tujuan syariat tadi maka sudah sepantasnya penafsiran tersebut ditinjau kembali.
Apa saja bentuk-bentuk diskriminasi atau ketidakadilan gender tersebut? Ada lima jenis bentuk diskriminasi yang sering terjadi yaitu : (konsep dan teori gender by Dra. Sri Sundari Sasongko, PPGPKP, BKKBN)
1.      Stereotip/Citra Baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak; kaum perempuan ramah dianggap genit; kaum  laki-laki ramah dianggap perayu.
2.      Subordinasi/Penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contoh: Sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di belakang”.
3.      Marginalisasi/Peminggiran, adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Misalnya, perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki laki.
4.      Beban Ganda/Double Burden, adalah adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.
5.      Kekerasan/Violence, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, tempat-tempat umum).
Jadi inti dari penetapan undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender nantinya bertujuan untuk menimalisir kerjadinya kelima bentuk diskriminasi tersebut. Selain itu tujuan dari pemahaman tentang gender ini yaitu agar kita diharapkan tidak lagi mencampuradukkan pengertian kodrat (ciptaan Tuhan) dan non-kodrati (buatan masyarakat yang bisa berubah sepanjang jaman).
Namun bicara mengenai kesetaraan dan ketidakadilan tugas antara lelaki dan perempuan memang masih banyak yang pro dan kontra. Terutama bila dipandang dari sisi teologis terutama yang berkaitan dengan bentuk ketidakadilan jenis Stereotif, subordinasi, marginalisasi terhadap perempuan. Secara pribadi penulis kurang setuju dengan penyetaraan dari sisi tersebut, karena hal itu tidak bisa lepas dari faktor kodrati penciptaan manusia, dimana lelaki dan perempuan sudah mempunyai "porsi" tugas tersendiri sesuai dengan kodratnya tersebut. Bukan berarti menganggap kaum wanita "tidak mampu" menjalankan tugas pria tapi lebih untuk "memuliakan" dan "menghargai" sosok wanita yang notabene disadari atau tidak sudah mempunyai peran yang lebih berat dan lebih mulia (seperti melahirkan dan mengasuh anak). Yah semua kembali ke pola pemikiran dan keyakinan masing-masing individu. Yang jelas semua (Lelaki dan perempuan) punya hak untuk menginginkan suatu penyerataan, dan hak itu wajib untuk kita hargai.

D.    CONTOH-CONTOH KONGKRIT MENGENAI KEADILAN GENDER
1.      Dalam Lingkup Keluarga
Paradigma yang terjadi mengenai keadilan gender dalam lingkup keluarga ini, sering sekali kita temukan bahwa kaum hawa itu harus tinggal di rumah, pintar memasak, pintar merawat diri, harus mengurus rumah, suami dan anak-anak, lemah lembut, sopan santun atau keyakinan masyarakat bahwa perempuan  itu adalah makhluk yang sensitif, emosional dan lebih mengedepankan perasaan. Sedangkan  adam  adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab menafkahi keluarga, berjiwa pemimpin, rasional dan tegas.
Sehingga jarang sekali kita jumpai wanita karir yang menghabiskan waktunya di kantor dan tempat kerjanya. Sekali lagi penulis ingatkan bahwa Al-qur’an tidak pernah mengajarkan tentang diskriminasi (pembedaan) laki-laki dan perempuan. Apa yang Al-qur’an ajarkan adalah perempuan dan  laki-laki mempunyai posisi yang sama dihadapan Allah. Oleh karena itu pandangan yang menyudutkan perempuan sudah selayaknya kita ubah, karena yang diajarkan Alqur’an itu adalah keadilan, keamanan dan ketentraman, mengajak pada yang baik dan mencegah yang mungkar. Tergantung pemikiran individu dan tentunya musyawarah bersama dengan anggota keluarga.
2.      Dalam Lingkup Kampus (pendidikan)
Untuk itu, isu gender di berbagai bidang seperti di bidang pendidikan, antara lain tingginya angka buta aksara perempuan (dua kali lipat dari laki-laki), perlu langkah riil untuk meningkatkan upaya penurunan angka buta aksara, terutama bagi perempuan, melalui kegiatan keaksaraan fungsional
Selanjutnya, tingkat pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi untuk perempuan yang jauh lebih rendah daripada laki-laki, memerlukan upaya peningkatan akses perempuan terhadap pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi, misalnya melalui pemberian beasiswa yang lebih difokuskan bagi perempuan, terutama dari keluarga miskin di daerah perdesaan
Kemudian, harus ada perbaikan materi ajar pada seluruh jenjang dan jenis pendidikan yang masih bias gender, perlu penggarapan penulisan materi ajar khususnya ilustrasi, contoh-contoh dan pernyataan yang mencerminkan kesetaraan gender.
Manajemen pendidikan yang masih bias gender terutama pada penetapan kepala sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah perlu kebijakan afirmatif untuk mensetarakan kesempatan guru perempuan dan laki-laki menjadi kepala sekolah. Yang sering penulis dapatkan di dunia kampus tidak jauh dari hal yang digambarkan diatas.:

3.      Dalam Lingkup Masyarakat
Konteks Indonesia, permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum perempuan seperti rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, rendahnya kesejahteraan dan perlindungan anak, kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki, banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan dan belum peduli anak dan lemahnya kelembagaan dan jaringan pengarus-utamaan gender dan anak, termasuk ketersediaan data dan rendahnya partisipasi masyarakat. Semua merupakan akibat dari adanya bias gender dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Kemudian struktur hukum seperti banyaknya aparat penegak hukum yang belum memiliki wawasan gender dan masih diskriminatif, sehingga perlu pemahaman itu bagi aparat penegak hukum (jaksa, polisi dan aparat penegak hukum lainnya).
Selanjutnya, dalam budaya hukum, akses perempuan terhadap hukum masih rendah. Untuk itu, kegiatan penyuluhan kesadaran hukum lebih digiatkan sehingga dapat menjangkau lebih banyak perempuan. Lemahnya akses perempuan terhadap informasi tenaga kerja, sehingga perlu disusun strategi diseminasi informasi pasar tenaga kerja yang responsif gender, yang dapat membuka akses lebih banyak bagi perempuan terutama di daerah perdesaan.
Lemahnya akses perempuan terhadap informasi tenaga kerja, sehingga perlu disusun strategi diseminasi informasi pasar tenaga kerja yang responsif gender, yang dapat membuka akses lebih banyak bagi perempuan terutama di daerah perdesaan. Di bidang ekonomi, antara lain rendahnya akses perempuan terhadap kredit usaha/modal kerja, dan sumber daya ekonomi lainnya, karena sebagian besar mensyaratkan adanya “agunan”. Perlu peningkatan akses perempuan terhadap kredit/modal kerja dan sumber daya ekonomi lainnya, terutama pada usaha-usaha kecil dan mikro.
Rendahnya keterampilan dalam berusaha di kalangan perempuan, karena keterbatasan akses pelatihan seperti untuk meningkatkan produksi, manajemen pemasaran, dll. maka perlu diperbanyak untuk perempuan, dalam rangka meningkatkan produktivitas mereka, dan selanjutnya pendapatannya juga akan meningkat.
Berbagai kegiatan pembangunan dengan sasaran seperti pengusaha kecil dan mikro, koperasi, petani, atau nelayan perlu memberikan perhatian khusus bagi perempuan. Pelibatan perempuan merupakan salah satu bentuk aksi afirmasi yang penting untuk dilakukan. Belajar pada pengalaman penerima Nobel Perdamaian asal Bangladesh, Muhammad Yunus dan Grameen Banknya, yang memberikan kesempatan dan akses luas bagi perempuan untuk mendapatkan modal dan membina-mendampingi usahanya sehingga sukses, maka tindakan nyata seperti ini kiranya bisa ditiru di Indonesia dalam skala yang lebih luas. Toh ini telah terbukti kemanjurannya untuk mengentaskan angka kemiskinan secara riil dan termasuk mengurangi tindakan kekerasan dalam rumah tangga sebagai dampak social dari keluarga yang secara ekonomi tidak memiliki kesejahteraan.
Seharusnya isu-isu diatas menjadi bahan penting bagi promosi Keadilan dan Kesetaraan Gender di negeri ini, agar massif gerakannya. Sangat diharapkan para aktivis-aktivis organisasi-organisasi yang peduli pada promosi dan gerakan KKG untuk menjadi Focal Point Gender dalam rangka penguatan kapasitas dan jaringan kelembagaan yang tentang pengarus-utamaan gender (PUG) dan sebagai penggerak dan perintis terbentuknya networking (jejaring) PUG di lingkungan kerjanya, atau unit kerja diluar organisasinya. Hal ini sangat diharapkan, sehingga bisa saling sinergis dan mampu saling bekerjasama untuk menggerakkan PUG dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
4.      Dalam Lingkup Pemerintah
Dalam pemerintahan, penulis kira sudah jelas. Di mana dalam setiap struktur pemerintahan harus mencukupi koata 30% bagi kaum wanita, dan selebihnya kaum pria. Dari hal tersebut muncul pertanyaan kembali mengenai keadilan gender ini. Mengapa presentasenya 30:70? Mengapa bukan 50:50? Penulis merasa, hal ini kian menyudutkan wanita dan dan tentunya sekali lagi penulis mengingatkan karena hal itu tidak bisa lepas dari faktor kodrati penciptaan manusia, dimana lelaki dan perempuan sudah mempunyai "porsi" tugas tersendiri sesuai dengan kodratnya tersebut. Bukan berarti menganggap kaum wanita "tidak mampu" menjalankan tugas pria tapi lebih untuk "memuliakan" dan "menghargai" sosok wanita yang notabene disadari atau tidak sudah mempunyai peran yang lebih berat dan lebih mulia (seperti melahirkan dan mengasuh anak). Yah semua kembali ke pola pemikiran dan keyakinan masing-masing individu. Yang jelas semua (Lelaki dan perempuan) punya hak untuk menginginkan suatu penyerataan, dan hak itu wajib untuk kita hargai.
 Strategi yang top down diperlukan untuk mengubah institusi TIK dan lembaga lembaganya, dilengkapi dengan strategi untuk mempromosikan kesetaraan dan memberdayakan perempuan di bidang Teknologi Informasi dan komunikasi (TIK )


BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Mengenai kesetaraan dan ketidakadilan tugas antara lelaki dan perempuan memang masih banyak yang pro dan kontra. Terutama bila dipandang dari sisi teologis terutama yang berkaitan dengan bentuk ketidakadilan jenis Stereotif, subordinasi, marginalisasi terhadap perempuan. Secara pemikiran kritis penulis kurang setuju dengan penyetaraan dari sisi tersebut, karena hal itu tidak bisa lepas dari faktor kodrati penciptaan manusia, dimana lelaki dan perempuan sudah mempunyai "porsi" tugas tersendiri sesuai dengan kodratnya tersebut.
Bukan berarti menganggap kaum wanita "tidak mampu" menjalankan tugas pria tapi lebih untuk "memuliakan" dan "menghargai" sosok wanita yang notabene disadari atau tidak sudah mempunyai peran yang lebih berat dan lebih mulia (seperti melahirkan dan mengasuh anak). Yah semua kembali ke pola pemikiran dan keyakinan masing-masing individu. Yang jelas semua (Lelaki dan perempuan) punya hak untuk menginginkan suatu penyerataan, dan hak itu wajib untuk kita hargai.

2.      Saran
Diharapkan kepada dosen mata kuliah Agama Islam, kiranya dapat membimbing kami lebih baik. Agar dapat mencapai tujuan dan sasaran pembelajaran yang telah dicanakan sesuai dengan Garis Besar Rancangan Pembelajaran (GBRP).




DAFTAR PUSTAKA

Ali Anginer Asghar, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta, LKIS, 2007
Hasin Syafiq, Menakar Harga Perempuan, Bandung, Mizan, 1999
Kulsum Umi, Fiqih Wanita, Surabaya, Cahay Mulia, 2007
Mohsin Ebrahim Abu Fadl, Aborsi Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan, Bandung, Mizan, 1997
Zuhdi Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Haji Masagung, Jakarta cetakan ke 7, 1994
Lily Zakiyah Munir,” Jender : wacana yang sangat sering disalahpahami banyak kalangan” Kompas 12-6-2006
Hj. Mursyidah Thahir (ed), " Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan
Perempuan", PP Muslimat NU kerjasama dengan Logos Wacana Ilmu, 2000
Nasaruddin Umar, "Qur’an untuk Perempuan", Jaringan Islam Liberal (JIL) &Teater Utan Kayu, 2002
Antrobus, Peggy, “The Global Women’s Movement: Definitions and Local Origins” dalam Peggy Antrobus (ed), The Global Women’s Movement: Origins, Issues and Strategies, 2004, London and New York: Zed Books.
Connell, R.W., “Change among the Gatekeepers: Men, Masculinities, and Gender Equality in the Global Arena”, Signs: Journal of Women in Culture and Society, 30/3(2005): 1801-1825.
Foskey, Deb, “Applying a Gender Lens to the Global Political Economy of the Right to Water”, dalam Kuntala Lahiri-Dutt (ed), Fluid Bonds: Views on Gender and Water, Kolkatta: Stree.
Atika, Nuralami. 2010 (by online, tanggal 10 oktober 2010) ©athiqahnuralami.wordpress.com, 2010.
-…..Kesetaraan Jender dalam Al-Quran:, lembar info seri 54 LBH Apik Jakarta
- ….sebagian info dari mailing list Persatuan Mahasiswa Indonesia-Thailand (Permitha)





TUGAS KELOMPOK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



KEADILAN GENDER
KEDUDUKAN DAN PERAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM SESUAI DENGAN KEADILAN GENDER


DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I
MUHAMMAD FADHLY ALI                           E31110267
ADNAN MUCHTAR                                         E31110259
MUHAMMAD AMRULLAH                            E31110269
YUNIAR SAKINAH WALIULU                       E31110004
ANDI NURUL INAYAH                                    E31110258
ANNISA ROSANA                                            E3111                 





JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
20­10