BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Islam sebagai agama, pada
hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di
dalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah
pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia
adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Yang membedakan
hanyalah prestasi dan kualitas takwa. Dan bicara soal takwa, hanya Tuhan semata
yang berhak melakukan penilaian.
Tujuan hakiki dari semua
agama adalah membina manusia agar menjadi baik dalam semua aspek: fisik,
mental, moral, spiritual, dan aspek sosialnya. Intisari dari semua ajaran agama
berkisar pada penjelasan tentang masalah baik dan buruk. Yakni menjelaskan mana
perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa kepada
kebahagiaan, dan mana perbuatan buruk yang membawa kepada bencana dan
kesengsaraan. Agama memberikan seperangkat tuntunan kepada manusia agar mengerjakan
perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan dan
ketenteraman manusia itu sendiri. Tuhan, Sang Pencipta, sama sekali tidak
merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan, sebaliknya juga
tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunan-Nya.
Salah satu tuntunan agama
yang mendasar adalah keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis
kelamin, gender, ras, suku bangsa, dan bahkan agama. Karena itu, setiap agama
mempunyai dua aspek ajaran: ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Islam
misalnya, memiliki ajaran yang menekankan pada dua aspek sekaligus: aspek
vertikal dan aspek horizontal. Yang pertama berisi seperangkat kewajiban
manusia kepada Tuhan, sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan yang
mengatur hubungan antar-sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam
sekitarnya. Penulisngnya, dimensi horizontal ini tidak terwujud dengan baik
dalam kehidupan penganutnya, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya.
Tauhid adalah inti ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana
berketuhanan, dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar.
Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan
mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah,
sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid yang benar akan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan hakiki
di akhirat.
Karena betapa pentingnya
sebuah keharmonisan antara sesama maka penulis bermaksud mengangkat tema
mengenai keadilan gender. Di mana hal ini sering saja membuat kisruh dan terus
menjadi persoalan bangsa yang tak kunjung usai. Karena, masyarakat kurang
mengetahui bagaimana keberadaaan keadilan gender tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas penulis
dapat merumuskan masalah yakni: bagaimana presepsi keadilan gender menurut
Islam?
C.
TUJUAN PENULISAN
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini yakni:
1.
Untuk mengetahui apa pengertian keadilan gender.
2.
Untuk mengetahui bagaimana kedudukan dan peran pria dan
wanita dalam pandangan Islam.
3.
Untuk mengetahui apakah masalah yang sering muncul mengenai
keadilan gender..
4.
Untuk mengetahui contoh-contoh kongkrit mengenai keadilan gender.
D.
MANFAAT PENULISAN
Manfaat yang diharapkan dari penelitian
ini antara lain:
1.
Bagi Masyarakat, kiranya dengan membaca makalah ini, Insya
Allah presepsi kita mengenai keadilan gender dapat diluruskan. Dan dapat
diaplimentasikan dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Bagi Mahasiswa, kiranya dapat bersikap adil dalam menempatkan
gender ddalam sebuah organisasi pada umunya.
3.
Bagi kelompok I, dengan adanya makalah ini. Di harapkan bisa
memberi kita ilmu dan pengetahuan yang nantinya sangat bermanfaat bagi
kehidupan kita kedepan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KEADILAN GENDER
Menurut A.A Wakinto dalam Kamus Praktis
Bahasa Indonesia (2010 : 6) keadilan merupakan sikap tidak memihak, berpihak
kepada yang benar, berpegang kepada kebenaran, sepatutnya, dan tidak semena-mena terhadap apa yang menjadi
haknya. Selain itu, keadilan menurut Sukri dalam mata pelajaran politik Unhas
(tanggal 11 Oktober 2010) mengatakan bahwa: keadilan merupakan suatu sikap yang
sulit diterapkan akan tetapi menuju ke arahnya itu dapat diusahakan. Tentunya
sesuai dengan kapasitas serta sikon yang ada.
2.
Pengertian Gender
Menurut Shorwalter, wacana Gender mulai
ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London
tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya
dengan isu Gender (gender discourse). Dimana sebelumnya istilah sex dan gender
digunakan secara rancu. Menurut Sri Sundari S dalam bukunya Kesetaraan gender (2010 : 35) mengemukakan bahwa:
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab
antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain itu menurut Lips (dalam Stevenson, 1994) “sex” merupakan
istilah bagi kondisi biologis seseorang, yaitu jantan dan betina. Dan juga
Ataumal E dan Femal E. Money (dalam Stevenson, 1994) menyebutkan bahwa,
fenomena biologis ini terkait erat dengan susunan kromosom, gen dan pengaruh
hormon dalam tubuh manusia tersebut. Sedangkan menurut Deaux (dalam Stevenson,
1994) istilah “gender” mengacu pada kondisi psikologis atau kategori sosial
yang diasosiasikan dengan keadaan biologis seseorang. Hal senada juga disampaikan
oleh Lips (dalam Stevenson, 1994) yang menyatakan bahwa gender adalah aspek
non-fisiologis dari sex, harapan budaya terhadap femininitas dan maskulinitas.
Sehingga bila
dibandingkan antara Sex/jenis kelamin dengan
gender memiliki banyak perbedaan antara lain: Kalau gender secara umum digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya,
maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi biologi.
Jadi, penulis
dapat menyimpulkan bahwa keadilan gender adalah sikap tidak memihak, melihat
kapasitas serta sikon yang terjadi, dan mengkritisi perbedaan peran, fungsi,
dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil
konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
B.
KEDUDUKAN DAN PERAN PRIA DAN LELAKI
DALAM PANDANGAN ISLAM
Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan,
keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan
alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender
dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos
(manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat
menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai
derajat abadi sesungguhnya.
keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan
alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender
dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos
(manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat
menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai
derajat abadi sesungguhnya.
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam
menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat tidak
ditemukan ayat Al-Qur’an atau Hadits yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya.
Sebaliknya al-Alqur’an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif
menekuni berbagai profesi.
menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat tidak
ditemukan ayat Al-Qur’an atau Hadits yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya.
Sebaliknya al-Alqur’an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif
menekuni berbagai profesi.
Jender merupakan pandangan yang diyakini
oleh masyarakat tentang bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki bertingkah laku atau berfikir.
Misalnya perempuan ideal itu harus tinggal di rumah, pintar memasak, pintar
merawat diri, harus mengurus rumah, suami dan anak-anak, lemah lembut, sopan
santun atau keyakinan masyarakat bahwa perempuan itu adalah makhluk yang sensitif, emosional
dan lebih mengedepankan perasaan. Sedangkan laki-laki adalah kepala keluarga
yang bertanggung jawab menafkahi keluarga, berjiwa pemimpin, rasional dan
tegas. Dengan kata lain perempuan ideal yang diyakini masyarakat adalah
perempuan yang berada di wilayah domestik, mengurus rumah dan anak-anak.
Sedangkan laki-laki ideal adalah yang berada di wilayah publik, berperan
sebagai pengambil keputusan dan pemimpin keluarga.
Akibatnya bagi perempuan, mereka akan
selalu berada di wilayah domestik. Akan terus berada di dalam’sarang’ yang
telah terbentuk sehingga mereka tidak menjadi mandiri dikarenakan semua
keputusan sudah ditetapkan oleh pihak laki-laki. Keadaan ini juga menyebabkan
perempuan menjadi ”tidak tahu dunia”, tidak mengetahui apa yang terjadi
diluar’sarang’mereka. Situasi ini menyebabkan mereka menjadi pihak nomor dua,
yang tidak dipandang keberadaannya. Dianggap sebagai makhluk yang tidak pantas
untuk mengambil keputusan dan tidak becus memimpin.
Sedangkan bagi laki-laki, jika konsep
ideal itu tidak bisa mereka capai, mereka akan menjadi stress karena tidak
mampu menafkahi keluarga, dan tidak mampu memimpin keluarga, padahal selalu
dianggap nomor satu. Tentu saja keadaan seperti ini tidak kita inginkan. Apa
yang diyakini benar oleh masyarakat ini tidak berdasar, karena dalam kitab suci
manapun tidak pernah disebutkan pelabelan laki-laki dan perempuan seperti yang
diyakini masyarakat tersebut. Karenanya konsep jender itu sendiri bisa
berubah-ubah tergantung waktu dan budaya.
Badan Internasional seperti PBB sudah
dari sejak berdirinya pada tahun 1945 telah mencanangkan kesetaraan jender
sebagai bagian mendasar dari hak asasi manusia. Sejak saat itu pula, sudah
banyak strategi yang dibuat untuk meningkatkan peran serta perempuan dalam
pembangunan, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dinegara-negara
anggota PBB.
Jika PBB baru mulai melaksanakan
kegiatan tersebut di awal-awal abad 20an, Islam sejak 15 abad silam sudah
memberikan status setara bagi perempuan dan laki-laki. Coba kita perhatikan
surat Al-Isra ayat 70 yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan laki-laki
dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat.
Manusia juga diciptakan memiliki akal, dan perasaan. Oleh karenanya Al-qur’an
sama sekali tidak pernah mengenal pembedaan laki-laki dan perempuan. Kedua
makhluk ciptaan Allah tersebut mempunyai kedudukan dan derajat yang sama.
Banyak ayat yang mempunyai semangat yang
sama seperti Al-Isra ayat 70 tadi. Sebut saja diantaranya surat Ar-Rum ayat 21,
An-Nisa ayat 1, surat al Hujurat ayat 13 yang intinya menberitahukan bahwa
Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan
perempuan agar mereka saling mengenal, agar mereka saling mengasihi dan
mencintai, agar nantinya lahir laki-laki dan perempuan lain untuk saling
mengenal. Ayat-ayat di atas memberitahukan pada kita bahwa adanya hubungan
timbal balik antara laki-laki dan perempuan dan tidak ada satupun yang
menunjukkan bahwa adanya superioritas satu jenis atas jenis yang lain.
Selain itu surat Al-Isra, Ar-Ruum,
Al-Hujurat, ada juga surat Ali Imran 195, An-Nisa 124, An-Nahl 97, At-Taubah
71-72, dan Al-Ahzab 35. Ayat-ayat tersebut memberitahukan bahwa Allah telah
menunjuk baik laki-laki dan perempuan untuk menegakkan nilai Islam dengan cara
beriman, bertakwa, dan beramal. Allah juga sudah menunjukkan peran dan tanggung
jawab yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan spiritualnya.
Allah juga memberikan sanksi bagi laki-laki dan perempuan atas kesalahan yang
masing-masing telah mereka lakukan. Ini menunjukkan bahwa bagi Allah, laki-laki
dan perempuan itu sama, yang membedakan mereka hanyalah ketaqwaannya.
Bukan itu saja, Ayat ayat tersebut di atas mengisyaratkan konsep
kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa prestasi
individual baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesiona, tidak
mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan
memperoleh kesempatan yan sama meraih prestasi yang optimal. Namun dalam
realitas masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi,
karena msih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit
diselesaikan.
diselesaikan.
Dengan demikian, keadilan gender dalam Islam adalah suatu kondisi adil
bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan
diri bagi pembangunan bangsa dan negara. Keadilan dan kesetaraan gender
berlandaskan pada prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan perempuan
sama-sama sebagai: hamba Tuhan (kapasitasnya sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan
mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya:
C.
MASALAH YANG SERING MUNCUL DALAM
MENGENAI KEADILAN GENDER
Informasi tentang kesetaraan jender
sering sekali tidak dipahami oleh semua masyarakat. Ini disebabkan oleh
pemahaman keagamaan yang sudah bias, seolah-olah bertentangan dengan agama.
Pemahaman ini tidak hanya salah, tapi juga sudah melupakan semangat Al-qur’an
yang ingin membebaskan kaum tertindas, termasuk perempuan. Informasi yang
seperti ini sangat tidak mencerahkan, bahkan membawa ummat mundur ke masa lalu
di mana saat itu perempuan hanya menjadi objek dan makhluk yang hanya berada di
wilayah domestik (rumah tangga).
Informasi yang salah ini menyebabkan
munculnya ketidakadilan terhadap perempuan dengan dalih agama. Hal ini
disebabkan karena faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkhi
sehingga menimbulkan sikap dan perilaku yang turun temurun diwariskan tentang
ketidakadilan jender ini. Hal inilah yang menyebabkan mitos yang salah yang
disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir ajaran agama yang keliru tentang
keunggulan laki-laki dan melemahkan kaum perempuan. Di antara mitos itu adalah
:
1.
adanya keyakinan bahwa
perempuan itu terbentuk dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan
dianggap sebagai makhluk kelas dua yang tidak akan ada tanpa kehadiran
laki-laki. Karena kepercayaan pada mitos ini memnyebabkan keberadaan perempuan
hanya sebagai pelengkap dan diciptakan untuk tunduk pada kekuasaan laki-laki.
2.
keyakinan bahwa perempuan sebagai penyebab
mengapa manusia terusir dari surga sehingga perempuan dipandang dengan jijik,
rasa benci dan curiga. Lebih jauh lagi perempuan dipandang sebagai sumber
malapetaka.
Al-qur’an tidak pernah mengajarkan
tentang diskriminasi (pembedaan) laki-laki dan perempuan. Apa yang Al-qur’an
ajarkan adalah perempuan dan laki-laki mempunyai posisi yang sama dihadapan
Allah. Oleh karena itu pandangan yang menyudutkan perempuan sudah selayaknya
kita ubah, karena yang diajarkan Alqur’an itu adalah keadilan, keamanan dan
ketentraman, mengajak pada yang baik dan mencegah yang mungkar. Inilah
sebenarnya tujuan dari syari’at. Jika selama ini kita menemukan
penafsiran-penafsiran yang memojokkan jenis kelamin tertentu yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip tujuan syariat tadi maka sudah sepantasnya penafsiran
tersebut ditinjau kembali.
Apa saja
bentuk-bentuk diskriminasi atau ketidakadilan gender tersebut? Ada lima jenis bentuk diskriminasi yang sering terjadi yaitu : (konsep dan
teori gender by Dra. Sri Sundari Sasongko, PPGPKP, BKKBN)
1.
Stereotip/Citra Baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali
bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan.
Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas
bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak; kaum perempuan ramah
dianggap genit; kaum laki-laki ramah
dianggap perayu.
2.
Subordinasi/Penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih
rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.
Contoh: Sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan
dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di belakang”.
3.
Marginalisasi/Peminggiran, adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin
dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Misalnya, perkembangan
teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan
diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki laki.
4.
Beban Ganda/Double
Burden, adalah adanya perlakuan terhadap salah
satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak
dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.
5.
Kekerasan/Violence, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang,
sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan,
pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan, yang
bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, tempat-tempat umum).
Jadi inti dari penetapan undang-undang
Kesetaraan dan Keadilan Gender nantinya bertujuan untuk menimalisir kerjadinya
kelima bentuk diskriminasi tersebut. Selain itu tujuan dari pemahaman tentang
gender ini yaitu agar kita diharapkan
tidak lagi mencampuradukkan pengertian kodrat (ciptaan Tuhan) dan non-kodrati
(buatan masyarakat yang bisa berubah sepanjang jaman).
Namun bicara mengenai kesetaraan dan
ketidakadilan tugas antara lelaki dan perempuan memang masih banyak yang pro
dan kontra. Terutama bila dipandang dari sisi teologis terutama yang berkaitan
dengan bentuk ketidakadilan jenis Stereotif, subordinasi, marginalisasi
terhadap perempuan. Secara pribadi penulis
kurang setuju dengan penyetaraan dari sisi tersebut, karena hal itu
tidak bisa lepas dari faktor kodrati penciptaan manusia, dimana lelaki dan
perempuan sudah mempunyai "porsi" tugas tersendiri sesuai dengan
kodratnya tersebut. Bukan berarti
menganggap kaum wanita "tidak mampu" menjalankan tugas pria tapi
lebih untuk "memuliakan" dan "menghargai" sosok wanita yang
notabene disadari atau tidak sudah mempunyai peran yang lebih berat dan lebih
mulia (seperti melahirkan dan mengasuh anak). Yah semua kembali ke pola
pemikiran dan keyakinan masing-masing individu. Yang jelas semua (Lelaki dan
perempuan) punya hak untuk menginginkan suatu penyerataan, dan hak itu wajib
untuk kita hargai.
D.
CONTOH-CONTOH KONGKRIT MENGENAI KEADILAN
GENDER
1.
Dalam Lingkup Keluarga
Paradigma
yang terjadi mengenai keadilan gender dalam lingkup keluarga ini, sering sekali
kita temukan bahwa kaum hawa itu harus tinggal di
rumah, pintar memasak, pintar merawat diri, harus mengurus rumah, suami dan
anak-anak, lemah lembut, sopan santun atau keyakinan masyarakat bahwa
perempuan itu adalah makhluk yang
sensitif, emosional dan lebih mengedepankan perasaan. Sedangkan adam
adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab menafkahi keluarga,
berjiwa pemimpin, rasional dan tegas.
Sehingga jarang sekali kita jumpai
wanita karir yang menghabiskan waktunya di kantor dan tempat kerjanya. Sekali
lagi penulis ingatkan bahwa Al-qur’an tidak pernah mengajarkan tentang
diskriminasi (pembedaan) laki-laki dan perempuan. Apa yang Al-qur’an ajarkan
adalah perempuan dan laki-laki mempunyai
posisi yang sama dihadapan Allah. Oleh karena itu pandangan yang menyudutkan
perempuan sudah selayaknya kita ubah, karena yang diajarkan Alqur’an itu adalah
keadilan, keamanan dan ketentraman, mengajak pada yang baik dan mencegah yang
mungkar. Tergantung pemikiran individu dan tentunya musyawarah bersama dengan
anggota keluarga.
2.
Dalam Lingkup Kampus (pendidikan)
Untuk itu, isu
gender di berbagai bidang seperti di bidang pendidikan, antara lain tingginya
angka buta aksara perempuan (dua kali lipat dari laki-laki), perlu langkah riil
untuk meningkatkan upaya penurunan angka buta aksara, terutama bagi perempuan,
melalui kegiatan keaksaraan fungsional
Selanjutnya,
tingkat pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi untuk perempuan yang jauh lebih
rendah daripada laki-laki, memerlukan upaya peningkatan akses perempuan
terhadap pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan menengah dan
tinggi, misalnya melalui pemberian beasiswa yang lebih difokuskan bagi
perempuan, terutama dari keluarga miskin di daerah perdesaan
Kemudian, harus
ada perbaikan materi ajar pada seluruh jenjang dan jenis pendidikan yang masih
bias gender, perlu penggarapan penulisan materi ajar khususnya ilustrasi,
contoh-contoh dan pernyataan yang mencerminkan kesetaraan gender.
Manajemen
pendidikan yang masih bias gender terutama pada penetapan kepala sekolah pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah perlu kebijakan afirmatif untuk
mensetarakan kesempatan guru perempuan dan laki-laki menjadi kepala sekolah. Yang sering penulis dapatkan di dunia
kampus tidak jauh dari hal yang digambarkan diatas.:
3.
Dalam Lingkup Masyarakat
Konteks Indonesia,
permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum perempuan seperti rendahnya
kualitas hidup dan peran perempuan, tingginya tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak, rendahnya kesejahteraan dan perlindungan anak, kesenjangan
pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki, banyaknya hukum dan
peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan
dan belum peduli anak dan lemahnya kelembagaan dan jaringan pengarus-utamaan
gender dan anak, termasuk ketersediaan data dan rendahnya partisipasi
masyarakat. Semua merupakan akibat dari adanya bias gender dalam tatanan
kehidupan masyarakat.
Kemudian struktur hukum seperti
banyaknya aparat penegak hukum yang belum memiliki wawasan gender dan masih
diskriminatif, sehingga perlu pemahaman itu bagi aparat penegak hukum (jaksa,
polisi dan aparat penegak hukum lainnya).
Selanjutnya, dalam budaya hukum, akses
perempuan terhadap hukum masih rendah. Untuk itu, kegiatan penyuluhan kesadaran
hukum lebih digiatkan sehingga dapat menjangkau lebih banyak perempuan. Lemahnya
akses perempuan terhadap informasi tenaga kerja, sehingga perlu disusun strategi
diseminasi informasi pasar tenaga kerja yang responsif gender, yang dapat
membuka akses lebih banyak bagi perempuan terutama di daerah perdesaan.
Lemahnya akses perempuan terhadap
informasi tenaga kerja, sehingga perlu disusun strategi diseminasi informasi pasar
tenaga kerja yang responsif gender, yang dapat membuka akses lebih banyak bagi
perempuan terutama di daerah perdesaan. Di bidang ekonomi, antara lain
rendahnya akses perempuan terhadap kredit usaha/modal kerja, dan sumber daya
ekonomi lainnya, karena sebagian besar mensyaratkan adanya “agunanâ€. Perlu
peningkatan akses perempuan terhadap kredit/modal kerja dan sumber daya ekonomi
lainnya, terutama pada usaha-usaha kecil dan mikro.
Rendahnya keterampilan dalam berusaha di
kalangan perempuan, karena keterbatasan akses pelatihan seperti untuk
meningkatkan produksi, manajemen pemasaran, dll. maka perlu diperbanyak untuk
perempuan, dalam rangka meningkatkan produktivitas mereka, dan selanjutnya
pendapatannya juga akan meningkat.
Berbagai kegiatan pembangunan dengan
sasaran seperti pengusaha kecil dan mikro, koperasi, petani, atau nelayan perlu
memberikan perhatian khusus bagi perempuan. Pelibatan perempuan merupakan salah
satu bentuk aksi afirmasi yang penting untuk dilakukan. Belajar pada pengalaman
penerima Nobel Perdamaian asal Bangladesh, Muhammad Yunus dan Grameen Banknya,
yang memberikan kesempatan dan akses luas bagi perempuan untuk mendapatkan
modal dan membina-mendampingi usahanya sehingga sukses, maka tindakan nyata
seperti ini kiranya bisa ditiru di Indonesia dalam skala yang lebih luas. Toh
ini telah terbukti kemanjurannya untuk mengentaskan angka kemiskinan secara
riil dan termasuk mengurangi tindakan kekerasan dalam rumah tangga sebagai
dampak social dari keluarga yang secara ekonomi tidak memiliki kesejahteraan.
Seharusnya isu-isu diatas menjadi bahan
penting bagi promosi Keadilan dan Kesetaraan Gender di negeri ini, agar massif
gerakannya. Sangat diharapkan para aktivis-aktivis organisasi-organisasi yang
peduli pada promosi dan gerakan KKG untuk menjadi Focal Point Gender dalam
rangka penguatan kapasitas dan jaringan kelembagaan yang tentang
pengarus-utamaan gender (PUG) dan sebagai penggerak dan perintis terbentuknya
networking (jejaring) PUG di lingkungan kerjanya, atau unit kerja diluar
organisasinya. Hal ini sangat diharapkan, sehingga bisa saling sinergis dan
mampu saling bekerjasama untuk menggerakkan PUG dalam rangka mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender
4.
Dalam Lingkup Pemerintah
Dalam pemerintahan, penulis kira sudah
jelas. Di mana dalam setiap struktur pemerintahan harus mencukupi koata 30%
bagi kaum wanita, dan selebihnya kaum pria. Dari hal tersebut muncul pertanyaan
kembali mengenai keadilan gender ini. Mengapa presentasenya 30:70? Mengapa
bukan 50:50? Penulis merasa, hal ini kian menyudutkan wanita dan dan tentunya
sekali lagi penulis mengingatkan karena hal itu tidak
bisa lepas dari faktor kodrati penciptaan manusia, dimana lelaki dan perempuan
sudah mempunyai "porsi" tugas tersendiri sesuai dengan kodratnya
tersebut. Bukan berarti menganggap
kaum wanita "tidak mampu" menjalankan tugas pria tapi lebih untuk
"memuliakan" dan "menghargai" sosok wanita yang notabene
disadari atau tidak sudah mempunyai peran yang lebih berat dan lebih mulia
(seperti melahirkan dan mengasuh anak). Yah semua kembali ke pola pemikiran dan
keyakinan masing-masing individu. Yang jelas semua (Lelaki dan perempuan) punya
hak untuk menginginkan suatu penyerataan, dan hak itu wajib untuk kita hargai.
Strategi
yang top down diperlukan untuk mengubah institusi TIK dan lembaga lembaganya, dilengkapi dengan strategi untuk mempromosikan kesetaraan dan
memberdayakan perempuan di bidang Teknologi Informasi dan komunikasi (TIK )
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Mengenai kesetaraan dan ketidakadilan tugas antara lelaki
dan perempuan memang masih banyak yang pro dan kontra. Terutama bila dipandang
dari sisi teologis terutama yang berkaitan dengan bentuk ketidakadilan jenis
Stereotif, subordinasi, marginalisasi terhadap perempuan. Secara pemikiran kritis penulis kurang setuju dengan penyetaraan dari sisi
tersebut, karena hal itu tidak bisa lepas dari
faktor kodrati penciptaan manusia, dimana lelaki dan perempuan sudah mempunyai
"porsi" tugas tersendiri sesuai dengan kodratnya tersebut.
Bukan berarti
menganggap kaum wanita "tidak mampu" menjalankan tugas pria tapi
lebih untuk "memuliakan" dan "menghargai" sosok wanita yang
notabene disadari atau tidak sudah mempunyai peran yang lebih berat dan lebih
mulia (seperti melahirkan dan mengasuh anak). Yah semua kembali
ke pola pemikiran dan keyakinan masing-masing individu. Yang jelas semua
(Lelaki dan perempuan) punya hak untuk menginginkan suatu penyerataan, dan hak
itu wajib untuk kita hargai.
2.
Saran
Diharapkan kepada
dosen mata kuliah Agama Islam, kiranya dapat membimbing kami lebih baik. Agar
dapat mencapai tujuan dan sasaran pembelajaran yang telah dicanakan sesuai
dengan Garis Besar Rancangan Pembelajaran (GBRP).
DAFTAR PUSTAKA
Ali Anginer Asghar, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta,
LKIS, 2007
Hasin Syafiq, Menakar Harga Perempuan, Bandung, Mizan,
1999
Kulsum Umi, Fiqih Wanita, Surabaya, Cahay Mulia, 2007
Mohsin Ebrahim Abu Fadl, Aborsi Kontrasepsi dan Mengatasi
Kemandulan, Bandung, Mizan, 1997
Zuhdi Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Haji Masagung, Jakarta
cetakan ke 7, 1994
Lily Zakiyah Munir,” Jender : wacana yang sangat sering disalahpahami
banyak kalangan” Kompas 12-6-2006
Hj. Mursyidah
Thahir (ed), " Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan
Perempuan",
PP Muslimat NU kerjasama dengan Logos Wacana Ilmu, 2000
Nasaruddin
Umar, "Qur’an untuk Perempuan", Jaringan Islam Liberal (JIL)
&Teater Utan Kayu, 2002
Antrobus,
Peggy, “The Global Women’s Movement: Definitions and Local Origins” dalam Peggy
Antrobus (ed), The Global Women’s Movement: Origins, Issues and Strategies,
2004, London and New York: Zed Books.
Connell, R.W.,
“Change among the Gatekeepers: Men, Masculinities, and Gender Equality in the
Global Arena”, Signs: Journal of Women in Culture and Society, 30/3(2005): 1801-1825.
Foskey, Deb,
“Applying a Gender Lens to the Global Political Economy of the Right to Water”,
dalam Kuntala Lahiri-Dutt (ed), Fluid Bonds: Views on Gender and Water,
Kolkatta: Stree.
Atika, Nuralami.
2010 (by online, tanggal 10 oktober 2010) ©athiqahnuralami.wordpress.com,
2010.
-…..Kesetaraan Jender dalam Al-Quran:, lembar info seri 54 LBH Apik
Jakarta
- ….sebagian info dari mailing list Persatuan Mahasiswa Indonesia-Thailand
(Permitha)
|
|
KEADILAN GENDER
KEDUDUKAN DAN PERAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM
PANDANGAN ISLAM SESUAI DENGAN KEADILAN GENDER
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I
MUHAMMAD FADHLY ALI E31110267
ADNAN
MUCHTAR E31110259
MUHAMMAD
AMRULLAH E31110269
YUNIAR
SAKINAH WALIULU E31110004
ANDI
NURUL INAYAH E31110258
ANNISA
ROSANA E3111
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2010