Menurut Gorge Gerbner, media massa benar-benar telah menjadi “agama
resmi” masyarakat industri. Dan dia telah memberi andil dalam memoles kenyataan
sosial. Sementara itu McLuhan mengatakan bahwa media telah ikut mempengaruhi
perubahan bentuk masyarakat. Media tidak hanya memenuhi kebutuhan manusia akan
informasi dan hiburan, tetapi juga ilusi atau fantasi yang mungkin belum pernah
terpenuhi melalui saluran-saluran komunikasi tradisional lainnya.
Media massa bersifat ambigu, dapat membawa manfaat, tetapi sekaligus dapat juga menimbulkan petaka bagi masyarakat. Dapat menghibur dan membawa inovasi, tetapi sekaligus dapat menumpulkan imajinasi, kepekaan moral dan sensibilitas akal budi serta kehalusan intuitif.
Televisi sebagai “agama” juga memiliki preferensi nilai tersendiri, nilai terpentingnya adalah komersial dan daya hidupnya adalah pasar. Televisi telah menjadi perpanjangan gurita kapitalisme.
Wajah industrialisasi media disinyalemen telah berperan dalam mengalirkan desakralisasi, dipolitisasi, dihumanisasi, yang terus meresapi relung-relung jiwa masyarakat massa.
Media dapat muncul sebagai ancaman apabila logika pesan media tunduk kepada sekelompok orang yang disinyalemen akan mendistorsi bahasa atau pesan media untuk mengendalikan pikiran khalayak dalam memahami realitas. Dengan beban-beban ideologis tadi, realitas yang tampil di media acap kali bukan menggambarkan autentisitas dunia, tapi justru realitas yang telah terdistorsi alias kepalsuan.
Hans Magnus Enzensberger yang memperkenalkan istilah industrialisasi pikiran mengatakan bahwa media akhirnya tidak lebih dari tool of the mind-making industry, suatu proses berdasa-muka yang ditandai makin meningkatnya cara hidup yang diawasi dengan amat ketat dan eksploitasi pikiran manusia atau yang oleh Enzersberger sebagai immaterial exploitation.
Media massa (di Indonesia) merupakan tampilan sosok yang retak karena apa yang direkam adalah masyarakat yang juga telah mengalami “keretakan mental”. Contohnya banyak, misalnya saja masyarakat telah mengajukan kritik yang pedas terhadap materialisme, tetapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme dan hedonisme semakin menguat dan seolah menjadi ekspresi sukses dan bahkan modus eksistensi pergaulan. Masyarakat amat merindukan kebebasan individual dan tercapainya perjuangan HAM, namun pada saat yang sama mereka yang menganggap dirinya sebagai pejuang HAM justru tak jarang mencerminkan sikap dan ucapan orang yang dijadikan sasaran kritik tersebut. Media, dengan demikian tidak hanya menjadi saluran ampuh untuk melihat paradoks atau konflik “bahasa” masyarakat, tetapi media adalah paradoks itu sendiri.
Guna menangkal pengaruh-pengaruh negatif yang dibawa oleh media dari dunia internasional ada beberapa cara yang dapat ditempuh: Paulo Freire da Ivan Illich untuk memilih media alternatif sebagai counter terhadap media “besar” tersebut. Maka, yang ditawarkannya adalah semacam pendayagunaan terhadap “media rakyat” (teater rakyat, folk music, dan sebagainya). Sementara itu Majid Tehranian menganjurkan alternatif jaringan komunikasi tradisional, seperti pendayagunaan masjid, majelis taklim, dan jaringan ulama. Atau juga bisa lewat pemanfaatan “media kecil” seperti kaset, leaflet, fotocopy dan lain-lain yang konon terbukti amat membantu sukses revolusi Islam di Iran. Sekalipun demikian, jalan yang paling memungkinkan/mudah adalah kemampuan bersikap selektif atas pesan-pesan media. Modalnya adalah kematangan intelektualitas dan kedewasaan mental khalayak.
Media massa bersifat ambigu, dapat membawa manfaat, tetapi sekaligus dapat juga menimbulkan petaka bagi masyarakat. Dapat menghibur dan membawa inovasi, tetapi sekaligus dapat menumpulkan imajinasi, kepekaan moral dan sensibilitas akal budi serta kehalusan intuitif.
Televisi sebagai “agama” juga memiliki preferensi nilai tersendiri, nilai terpentingnya adalah komersial dan daya hidupnya adalah pasar. Televisi telah menjadi perpanjangan gurita kapitalisme.
Wajah industrialisasi media disinyalemen telah berperan dalam mengalirkan desakralisasi, dipolitisasi, dihumanisasi, yang terus meresapi relung-relung jiwa masyarakat massa.
Media dapat muncul sebagai ancaman apabila logika pesan media tunduk kepada sekelompok orang yang disinyalemen akan mendistorsi bahasa atau pesan media untuk mengendalikan pikiran khalayak dalam memahami realitas. Dengan beban-beban ideologis tadi, realitas yang tampil di media acap kali bukan menggambarkan autentisitas dunia, tapi justru realitas yang telah terdistorsi alias kepalsuan.
Hans Magnus Enzensberger yang memperkenalkan istilah industrialisasi pikiran mengatakan bahwa media akhirnya tidak lebih dari tool of the mind-making industry, suatu proses berdasa-muka yang ditandai makin meningkatnya cara hidup yang diawasi dengan amat ketat dan eksploitasi pikiran manusia atau yang oleh Enzersberger sebagai immaterial exploitation.
Media massa (di Indonesia) merupakan tampilan sosok yang retak karena apa yang direkam adalah masyarakat yang juga telah mengalami “keretakan mental”. Contohnya banyak, misalnya saja masyarakat telah mengajukan kritik yang pedas terhadap materialisme, tetapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme dan hedonisme semakin menguat dan seolah menjadi ekspresi sukses dan bahkan modus eksistensi pergaulan. Masyarakat amat merindukan kebebasan individual dan tercapainya perjuangan HAM, namun pada saat yang sama mereka yang menganggap dirinya sebagai pejuang HAM justru tak jarang mencerminkan sikap dan ucapan orang yang dijadikan sasaran kritik tersebut. Media, dengan demikian tidak hanya menjadi saluran ampuh untuk melihat paradoks atau konflik “bahasa” masyarakat, tetapi media adalah paradoks itu sendiri.
Guna menangkal pengaruh-pengaruh negatif yang dibawa oleh media dari dunia internasional ada beberapa cara yang dapat ditempuh: Paulo Freire da Ivan Illich untuk memilih media alternatif sebagai counter terhadap media “besar” tersebut. Maka, yang ditawarkannya adalah semacam pendayagunaan terhadap “media rakyat” (teater rakyat, folk music, dan sebagainya). Sementara itu Majid Tehranian menganjurkan alternatif jaringan komunikasi tradisional, seperti pendayagunaan masjid, majelis taklim, dan jaringan ulama. Atau juga bisa lewat pemanfaatan “media kecil” seperti kaset, leaflet, fotocopy dan lain-lain yang konon terbukti amat membantu sukses revolusi Islam di Iran. Sekalipun demikian, jalan yang paling memungkinkan/mudah adalah kemampuan bersikap selektif atas pesan-pesan media. Modalnya adalah kematangan intelektualitas dan kedewasaan mental khalayak.