PENDIDIKAN DILEMATIS
PENDIDIKAN GRATIS SEBAGAI
ALAT KOMESIALISASI
DIBALIK KURSI POLITIK
Pendidikan
dilematis merupakan salah satu dari sekian banyak problema yang dihadapi
Indonesia saat ini. Di mana satu sisi pendidikan merupakan hak dari setiap
warga negara, akan tetapi di sisi lainnya bersekolah tidak diwajibkan oleh
negara. Sehingga yang terjadi, pendidikan di negara ini ambruk dan tidak
berjalan sesuai dengan konsep awal
yang sangat matang.
Berbicara soal hak, tentu saja ada pihak
yang seharusnya memfasilitasi sehingga hak itu dapat terjawabkan dengan
realisasi yang sesuai. Akan tetapi siapa yang bertanggung jawab akan
terkabulnya hak rakyat dalam sektor pendidikan? Siapa lagi kalau bukan pemerintah?
Yang terlihat saat ini, bahwa pemerintah
menjabarkan pendidikan adalah sekolah. Cobalah mencermati program WaJar 9 tahun
(Wajib Belajar) yang dicanangkan oleh pemerintah. Pada kenyataannya, yang
dimaksud adalah “Wajib Sekolah” minimal dari SD sampai SMP. Bila mendengar jawaban itu, terus SMA dan
Perguruan Tinggi bagaimana? Apakah ini yang dinamakan pendidikan? Hanya Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah
Pertama yang wajib bersekolah?
Pendidikan sangatlah penting untuk diri
manusia, dengan adanya pendidikan, manusia dapat meningkatkan derajatnya baik
di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, sadarkah manusia dengan hal tersebut?
Terkadang yang terlihat di pinggir jalan, banyak anak-anak yang berjualan koran,
mengamen, mengemis dan menghabiskan waktunya untuk mencari uang. Mereka tidak
bersekolah dengan alasan biaya yang mahal. Akan tetapi pemerintah sudah
mencanangkan program wajib belajar 9 tahun yang bisa mewadahi anak-anak jalanan
tersebut, sehingga tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk tidak bersekolah.
Akan tetapi tidak ada ketegasan yang dilakukan pemerintah, karena kebanyakan
dari orang tua mereka, memang lebih menyukai anaknya untuk berkerja ketimbang
bersekolah. Sehingga terjadilah kesalahpahaman antara pemerintah dan rakyatnya.
Melihat judul yang penulis bahas, yakni
pendidikan gratis sebagai alat komersial di balik kursi politik memang bukanlah hal yang baru terdengar. Banyak
dari calon Bupati, Walikota, dan Gubernur baik itu di kota, kabupaten dan propinsi yang ada
di Indonesia memasukkan pendidikan gratis ke dalam program kampanye mereka.
Karena mereka melihat betapa pentingnya pendidikan dimata masyarakat, sehingga
hal ini menjadi lahan empuk yang coba dimaksimalkan oleh mereka. Apa lagi yang
penting itu gratis, sungguh pemandangan yang menarik minat banyak orang,
sehingga tidak jarang para elite politik menggunakan senjata pendidikan gratis
ini sebagai wadah mencari suara di pemelihan nanti.
Terlepas dari pemanfaatan wacana
pendidikan gratis tersebut, muncul berbagai pandangan akan makna dari
pendidikan gratis itu sendiri, di mana dalam makna yang sesungguhnya pendidikan
gratis merupakan pendidikan tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun dalam prosesnya,
baik itu sarana maupun prasarana. Akan tetapi, di sisi lain bahwa, pendidikan
gratis merupakan sebuah langkah yang kurang tepat, bila melihat prinsip keadilan
yang tidak terpenuhi. Karena anggaran untuk siswa miskin dan siswa kaya tetap
sama. sehingga kurang termaksimalkan dengan baik.
Inilah yang menjadi permasalahan saat ini,
para elite politik yang ingin mendapatkan kursi jabatan di pemerintahan tidak
menjabarkan lebih mendalam akan totalitas dari pendidikan gratis yang mereka
canangkan. Sehingga masyarakat bingung pendidikan gratis seperti apa yang akan
mereka dapatkan kelak, jika yang dipilihnya itu naik dan lolos menjadi wakil
rakyat. Oleh karena itu, sebagai rakyat tentunya harus selektif dalam memilih
wakil rakyat yang memang berkompetensi dalam segala bidang dan loyal akan
kepentingan rakyat, bukan kepentingan parpol seperti saat ini.
Fakta yang ada di kota Makassar, seperti
tertuang pada Harian Fajar (tanggal 19 Mei 2011: 13) di mana judulnya yaitu:
Ilham (Walikota Makassar) ingin melepas program Pendidikan Gratis. Dalam berita
tersebut, Pemkot Makassar sedang mengkaji untuk lepas dari program Pendidikan
Gratis dan mengelola sendiri dana pendidikannya. Walikota Makassar mengaku
lebih tepat menggunakan sistem sekolah bersubsidi penuh untuk sekolah tertentu
yang siswanya dominan dari keluarga tidak mampu. Selain itu, masalah lain yang
tidak kala peliknya pada program Pendidikan Gratis yang sudah berjalan selama
tiga tahun adalah beban pada APBD. Pemkot Makassar terbebani Rp 58 miliar
setiap tahun untuk membiayai pendidikan gratis. Akibatnya, program pendidikan gratis
yang tidak memenuhi azas keadilan dan pemerataan itu menghambat infrastruktur.
Bayangkan saja, sekolah tidak layak pakai
yang mestinya sudah diperbaiki harus tertunda. Ini dikarenakan dana yang seharusnya
terpakai untuk memperbaiki dan menambah sarana dan prasarana sekolah tersedot
untuk Pendidikan Gratis. Melihat hal tersebut selayaknya program pendidikan
mestinya lebih selektif pembiayaannya. Siswa yang sebenarnya berhak mendapatkan
subsidi pendidikan hanya yang betul-betul tidak mampu. Sehingga tanggung jawab
pemerintah menyediakan sekolah bersubsidi penuh untuk siswa dari keluarga
miskin dapat berjalan maksimal.
Pendidikan gratis selama ini di
interpretasi terlalu berlebihan. Pandangan yang terbentuk di masyarakat bahwa
pendidikan gratis artinya tidak lagi mengeluarkan dana. Sehingga masyarakat
tidak pusing lagi memikirkan biaya anak-anaknya untuk bersekolah. Padahal, di
negara ini tidak ada yang gratis. Buang air kecil saja butuh biaya, apa lagi
mendapatkan pendidikan. Inilah salah satu bentuk kurang tangkapnya pemerintah
akan permasalahan yang ada di masyarakat saat ini.
Inilah kehidupan akan pendidikan negara
ini yang termakan politik di balik kursi kekuasaan. Mereka hanya mencanangkan
tanpa merealisasikan dengan maksimal janji-janji sewaktu mereka mengemis kepada
rakyat untuk dipilih. Pendidikan gratis, sangatlah luas maknanya. Akan tetapi,
mereka mengartikan terlalu sempit makna akan pendidikan itu. Terjabarkan indah
di saat kampanye, tapi sewaktu naik dan terpilih, janji itu seakan fatamorgana
yang tak kunjung terealisasikan. Apakah ini menandakan pendidikan itu hanya
komersialisasi? sehingga dengan menjual wacana pendidikan gratis para elit
politik leluasa membombardir stabilitas kehidupan rakyat, yang terlalu berharap
akan program tersebut.
Sampai saat ini, rakyat tak menyadari
sedikitpun, bahwa mereka telah tertipu dengan pendidikan gratis yang seakan-akan
program ini membantu rakyat terutama rakyat miskin. Akan tetapi itu hanya
untaian kata, realisasinya malah merugikan rakyat miskin. Lihat saja azas
keadilan serta kesetaraan seakan di nomor dauakan. Yang ada hanya orang kaya
semakin kaya, orang miskin semakin miskin. sehingga ini tidak sesuai dengan
idiologi Indonesia yang sangat superior yakni Pancasila.
Kasihan negeri ini, bila pemerintahannya
hanya ahli dalam meng-hegemoni rakyatnya dengan perkataan yang halus, indah,
bahkan sempurna. Sehingga rakyat hanya mengangguk dan menunggu kebijakan pro
rakyat yang selama ini kurang di perhatikan pemerintah.
Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan
bangsa-bangsa lain, harusnya membuat negeri ini lebih termotivasi untuk
berbenah diri. Dari pada sibuk dengan komersialisasi pendidikan gratis dengan
dahlil ingin mendapatkan kursi di pemerintahan. Alangkah lebih baiknya jika
elit politik saling bahu membahu menyelesaikan permasalahan pendidikan yang
muncul ke permukaan. Sehingga penilaian rakyat bukan hanya janji yang tak pasti
tetapi sebuah realisasi maksimal yang dibagun secara kekeluargaan tanpa menimbulkan
efek yang negatif.
Sebut saja, dalam perbaikan Kurikulum yang dalam jangka
waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap
saja. Gembar-gembor kurikulum baru, katanya lebih baiklah, lebih tepat sasaran.
Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula
pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang
terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya
bukunya.
Pemerintah sendiri seakan tutup mata, bahwa dalam
prakteknya Guru di Indonesia yang layak mengajar hanya 60% dan sisanya masih
perlu pembenahan. Hal ini terjadi karena pemerintah menginkan hasil yang baik
tapi lupa dengan elemen-elemen dasar dalam pendidikan. Contohnya guru, banyak
guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan
dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya
sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang
menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh. Menurut slogan jawa, guru
itu digugu dan ditiru, tapi fakta yang ada, banyak masyarakat yang memandang
rendah terhadap profesi guru, padahal tanpa guru kita tidak akan bisa menjadi
seperti sekarang ini.
Sesuai dengan tujuan dan cita-citanya
pendidikan kita haruslah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mungkin berkembang dari
kata mencerdaskan banyak orang mengartikannya dengan mengambil berbagai
kebijakan yang dapat membuat pendidikan di Indonesia bisa berkembang. Salah
satu caranya unutk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mengadakan Ujian
Nasional, nyatanya Ujian Nasional bukan menciptkan generasi yang cerdas namun
menciptkan generasi yang rusak baik mentalnya maupun kerohaniaanya.
Siapapun tidak bisa membantah kalau Ujian
Nasional telah menciptakan generasi yang rusak moralitasnya. Sebagaimana bisa
kita lihat beberapa fenomena kecurangan dan kejahatan yang sering terjadi
hinggat ditayangkan diberbagai media masa maupun media elektronik. Beberapa
saat lalu Ujian Nasional tingkat SMA/MA dan setingkat lainnya telah
diberlangsungkan namun meninggalkan bekas yang sangat memprihatinkan karena
dimana-mana terjadi kecurangan yang patutnya tidak perlu terjadi.
Di daerah lainpun terjadi hal yang sama.
Bahkan beberapa kepala sekolah tega menjual lembaran soal hingga mencapai
jutaan rupiah. Dengan demikian inikah yang dinamakan mencerdaskan kehidupan
bangsa yang sesuai dengan cita-cita nasional.
Memahami dan menyadari bahwa berjuang
dibawah tekanan, penjajahan dan ancaman bukanlah hal termudah. Namun karena
adanya kemajuan pendidikan. Sehingga dalam tekanan apapun tidak akan pernah ada
rasa gentar dan takut hanya demi memajukan pendidikan di negeri ini. Bertolak
dari pada usaha dan kerja keras bersama seharusnya para pengambil kebijkan
pendidikan di Indenesia dapat berpikir dan mencerna bagaimana solusi yang
diambil agar semua kegiatan pendidikan yang terjadi tidak membuat sedih, piluh,
dan dilematis pendidikan kita.
Fenomena keburukan yang terjadi saat ini
bukan saja masalah Ujian Nasional, namun yang terjadi juga adalah biaya sekolah
dari tahun ketahun yang semakin meningkat. sLihat saja anak sekolah saat ini,
tentunya menyadari adanya lonjakan tingginya uang sekolah dari tahun ke tahun.
Padahal berbagai janji manis seperti adanya dana BOS (Bantuan Operasional
Sekolah) akan membantu meringankan biaya sekolah, bahkan ada juga yang
mengatakan dengan adanya dana bos maka pendidikan gratis. Apakah pendidikan
saat ini di Indonesia gratis? Jangan mimpi bila pendidikan mau gratis.
Realisasi dana pendidikan yang
dialokasikan menurut Undang-Undang bahwa 25% dari APBN dialkosikan untuk
pendidikan. Namun kenyataan sampai sat ini semua itu tidak nampak. Dengan
berbagai janji manis yang sengaja dilanggar ini memberi peringatan kepada kita
bagaimana nasib pendidikan Indonesia di masa depan nanti. Bagaimana nanti nasib
generasi yang akan datang? Generasi yang akan datang mau dikemanakan? Bagaimana
seandainya generasi yang akan datang mengikuti kesalahan para pengambil
kebijakan pendidikan. Apakah ini mau dikatakan sebagai generasi yang berbobot
dan generasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita
nasional yang telah tertera dalam Undang-Undang Dasar1945.
Tidak dipungkiri lagi bahwa pendidikan
merupakan pengubah sejarah kehidupan. Suatu bangsa akan memiliki derajat dan
martabat jika pendidikan di negara tersebut berkualitas, maka benarlah apa yang
tertulis dalam Al Qur’an bahwa “ Allah akan meninggikan derajat orang yang
berilmu” dan di pertegas lagi dengan hadist nabi “ Tuntutlah ilmu dari buaian
sampai liang lahat” memang secara eksplisit tidak disebutkan bahwa pendidikan
adalah tonggak peradaban, akan tetapi sangatlah jelas bahwa Agama sangat
menganjurkan umatnya untuk menuntut Ilmu, sehingga sangatlah bijak para founding father bangsa ini mengamanatkan
untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” yang tersirat dalam UUD 1945.
Jika kita lihat fakta pendidikan saat ini,
sangat memprihatinkan. Jika dilihat dari kebijakan politik pemerintah terkait
dengan pendidikan sangatlah miris kita melihatnya, yakni dengan UU BHP, di
dalam UU tersebut jelas sekali bahwa Pendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi
serta pendidikan non/in formal termasuk dalam Badan Usaha Terbuka yang memperkenankan
para investor untuk menanamkan modalnya maksimal 45 %. Artinya, para investor
asing akan dengan bebasnya menanamkan modal untuk penyelenggaraan pendidikan,
tentunya ini memiliki dampak positif dan negative.
Adapun dampak positifnya adalah institusi
pendidikan akan berpacu untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sehingga akan
muncullah sekolah berstandar Internasional, dan perguruan tinggi akan menjadi World Class University. Akan tetapi
dampak negatifnya adalah: Semakin mahalnya biaya pendidikan, karena
Penyelenggaran pendidikan tidak lagi murni untuk meningkatkan kualitas
kemanusiaan, melainkan menjadi suatu komoditas, alhasil kesempatan menikmati
dan mendapatkan layanan pendidikan akan semakin sempit, karena yang
memperolehnya hanyalah segelintir orang yang memiliki modal dan kecerdasan,
sehingga rakyat yang tidak memiliki modal dan keterbatasan kemampuan akan
tersingkirkan dengan sendirinya, iniliah yang disebut dengan Pembodohan yang
tersistem, dan akan mengarah kepada Kemiskinan tersistem.
Jika kita lihat fakta lainnya ialah dari
segi kurikulum, kurikulum pendidikan sangatlah jauh dari harapan untuk
membangun karakter kebangsaan, akan tetapi lebih kepada membentuk karakter
pekerja. Contoh kasus, Mata pelajaran sejarah, Geografi, dan Agama tidak
menjadi prioritas dalam pembelajaran, karena di kalahkan oleh Matematika dan
Bahasa Inggris, artinya bahwa Mata pelajaran Sejarah dan geografi merupakan
mata pelajaran yang akan membentuk karakter kebangsaan para peserta didik, dan
mata pelejaran Agama akan membentuk moralitas peserta didik, akan tetapi mata
pelajaran tersebut diabaikan. Kemudian bagaimana akan terbentuk karakter bangsa
itu, maka wajar saja para peserta didik saat ini, lebih banyak menghapal
lagu-lagu pop dari pada lagu kebangsaan, dan tidak mengenal geografis bangsa
nya sendiri. Dan yang lebih fatal lagi adalah sering terjadi tawuran antar
pelajar dan perbuatan seks bebas dikalangan pelajar.
Dan jika dilihat dari sarana dan
prasarana, setidaknya film Denias yang menceritakan pendidikan di Papua, dan
Laskar Pelangi di Pulau Belitung merupakan representasi kondisi pendidikan di
Nusantara, betapa hancurnya sistem pendidikan ini, sehingga masih banyak
generasi bangsa tidak mendapatkan kenyamanan dalam menjalani proses pendidikan.
Selanjutnya adalah tenaga pendidik, memang
akhir-akhir ini, kesejahteraan pendidik sedikit mulai terjamin, dengan program
sertifikasi para pendidik mulai mendapatkan kesejahteraan, akan tetapi yang
terpenting adalah peningkatan kualitas pendidik, yaitu dengan meningkatkan
kompetensinya sebagai pendidik, maka oleh karena itu, suatu keniscayaan bagi
pemerintah untuk tetap memfasilitasi para pendidik untuk selalu meningkatkan
kompetensi pendidik, baik itu kompetensi Pedagogik, Kompetensi Profesional,
Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Kepribadian. Karena ditangan merekalah
generasi bangsa akan lahir.
Mungkin hal-hal itulah yang selayaknya dilakukan oleh
pemerintah dan elit politik bila ingin melihat Indonesia lebih baik. bukan
dengan komersialisasi pendidikan gratis yang hanya membuat rakyat semakin
berharap kepada negra. sehingga jiwa untuk berusaha seakan kempes dan akhirnya
tinggal kenangan. Majulah pendidikan Indonesia. Aku bangga, walau hati tak
seirama.
DAFTAR PUSTAKA
Koran Fajar (Tanggal 19 Mei 2011). Ilham (Walikota Makassar) ingin melepas program Pendidikan Gratis.
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/17/16114897/mahasiswa.khawatir.uu.bhp.bikin.pendidikan.semakin.mahal. (Diakses tanggal 18 Mei 2011)
http://www.geramtolakbhp.blogspot.com/Potret
Dunia Pendidikan Indonesia.
(Diakses yanggal 18 Mei 2011)
http://mybluegreen.net/serbaneka/potret-dunia-pendidikan-indonesia/. (Diakses tanggal 18 Mei 2011)
http://beritasore.com/2007/07/03/uu-bhp-tidak-mengarah-privatisasi-perguruan-tinggi/. (Diakses yanggal 18 Mei 2011)
BIODATA
Judul Naskah : Pendidikan Gratis
Dibalik Kursi Politik
NAMA PENULIS : Muhammad Fadhly Ali
Tempat &
Tanggal Lahir : Makassar, 22
Februari 1991
Nama
Perguruan Tinggi : Universitas
Hasanuddin
Nama
Fakultas, Jurusan : FISIP,
Ilmu komunikasi
NIM :
E31110267
Domisili : Komp. Puri
Taman Sari Blok B2/15B
Alamat Email :
andi_nosel06@yahoo.com
FB :
Fadhly Muhammad
Twitter :
@DaeNg_FadHLy
Blog :
http://pangerankarya.blogspot.com
Telepon : (0411)
457-834
Ponsel :
085656284832/085239653538
Nomor Rekening : 0117948341 atas nama Nur Fadillah Ali