5.17.2012

PENDIDIKAN GRATIS SEBAGAI ALAT KOMESIALISASI DIBALIK KURSI POLITI


PENDIDIKAN DILEMATIS














PENDIDIKAN GRATIS SEBAGAI ALAT KOMESIALISASI
DIBALIK KURSI POLITIK









unhas.jpg

Pendidikan dilematis merupakan salah satu dari sekian banyak problema yang dihadapi Indonesia saat ini. Di mana satu sisi pendidikan merupakan hak dari setiap warga negara, akan tetapi di sisi lainnya bersekolah tidak diwajibkan oleh negara. Sehingga yang terjadi, pendidikan di negara ini ambruk dan tidak berjalan sesuai dengan konsep awal yang sangat matang.
Berbicara soal hak, tentu saja ada pihak yang seharusnya memfasilitasi sehingga hak itu dapat terjawabkan dengan realisasi yang sesuai. Akan tetapi siapa yang bertanggung jawab akan terkabulnya hak rakyat dalam sektor pendidikan? Siapa lagi kalau bukan pemerintah?
Yang terlihat saat ini, bahwa pemerintah menjabarkan pendidikan adalah sekolah. Cobalah mencermati program WaJar 9 tahun (Wajib Belajar) yang dicanangkan oleh pemerintah. Pada kenyataannya, yang dimaksud adalah “Wajib Sekolah” minimal dari SD sampai SMP. Bila mendengar jawaban itu, terus SMA dan Perguruan Tinggi bagaimana? Apakah ini yang dinamakan pendidikan?  Hanya Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama yang wajib bersekolah?
Pendidikan sangatlah penting untuk diri manusia, dengan adanya pendidikan, manusia dapat meningkatkan derajatnya baik di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, sadarkah manusia dengan hal tersebut? Terkadang yang terlihat di pinggir jalan, banyak anak-anak yang berjualan koran, mengamen, mengemis dan menghabiskan waktunya untuk mencari uang. Mereka tidak bersekolah dengan alasan biaya yang mahal. Akan tetapi pemerintah sudah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun yang bisa mewadahi anak-anak jalanan tersebut, sehingga tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk tidak bersekolah. Akan tetapi tidak ada ketegasan yang dilakukan pemerintah, karena kebanyakan dari orang tua mereka, memang lebih menyukai anaknya untuk berkerja ketimbang bersekolah. Sehingga terjadilah kesalahpahaman antara pemerintah dan rakyatnya.
Melihat judul yang penulis bahas, yakni pendidikan gratis sebagai alat komersial di balik kursi politik memang bukanlah hal yang baru terdengar. Banyak dari calon Bupati, Walikota, dan Gubernur baik itu di kota, kabupaten dan propinsi yang ada di Indonesia memasukkan pendidikan gratis ke dalam program kampanye mereka. Karena mereka melihat betapa pentingnya pendidikan dimata masyarakat, sehingga hal ini menjadi lahan empuk yang coba dimaksimalkan oleh mereka. Apa lagi yang penting itu gratis, sungguh pemandangan yang menarik minat banyak orang, sehingga tidak jarang para elite politik menggunakan senjata pendidikan gratis ini sebagai wadah mencari suara di pemelihan nanti.
Terlepas dari pemanfaatan wacana pendidikan gratis tersebut, muncul berbagai pandangan akan makna dari pendidikan gratis itu sendiri, di mana dalam makna yang sesungguhnya pendidikan gratis merupakan pendidikan tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun dalam prosesnya, baik itu sarana maupun prasarana. Akan tetapi, di sisi lain bahwa, pendidikan gratis merupakan sebuah langkah yang kurang tepat, bila melihat prinsip keadilan yang tidak terpenuhi. Karena anggaran untuk siswa miskin dan siswa kaya tetap sama. sehingga kurang termaksimalkan dengan baik.
Inilah yang menjadi permasalahan saat ini, para elite politik yang ingin mendapatkan kursi jabatan di pemerintahan tidak menjabarkan lebih mendalam akan totalitas dari pendidikan gratis yang mereka canangkan. Sehingga masyarakat bingung pendidikan gratis seperti apa yang akan mereka dapatkan kelak, jika yang dipilihnya itu naik dan lolos menjadi wakil rakyat. Oleh karena itu, sebagai rakyat tentunya harus selektif dalam memilih wakil rakyat yang memang berkompetensi dalam segala bidang dan loyal akan kepentingan rakyat, bukan kepentingan parpol seperti saat ini.
Fakta yang ada di kota Makassar, seperti tertuang pada Harian Fajar (tanggal 19 Mei 2011: 13) di mana judulnya yaitu: Ilham (Walikota Makassar) ingin melepas program Pendidikan Gratis. Dalam berita tersebut, Pemkot Makassar sedang mengkaji untuk lepas dari program Pendidikan Gratis dan mengelola sendiri dana pendidikannya. Walikota Makassar mengaku lebih tepat menggunakan sistem sekolah bersubsidi penuh untuk sekolah tertentu yang siswanya dominan dari keluarga tidak mampu. Selain itu, masalah lain yang tidak kala peliknya pada program Pendidikan Gratis yang sudah berjalan selama tiga tahun adalah beban pada APBD. Pemkot Makassar terbebani Rp 58 miliar setiap tahun untuk membiayai pendidikan gratis. Akibatnya, program pendidikan gratis yang tidak memenuhi azas keadilan dan pemerataan itu menghambat infrastruktur.
Bayangkan saja, sekolah tidak layak pakai yang mestinya sudah diperbaiki harus tertunda. Ini dikarenakan dana yang seharusnya terpakai untuk memperbaiki dan menambah sarana dan prasarana sekolah tersedot untuk Pendidikan Gratis. Melihat hal tersebut selayaknya program pendidikan mestinya lebih selektif pembiayaannya. Siswa yang sebenarnya berhak mendapatkan subsidi pendidikan hanya yang betul-betul tidak mampu. Sehingga tanggung jawab pemerintah menyediakan sekolah bersubsidi penuh untuk siswa dari keluarga miskin dapat berjalan maksimal.
Pendidikan gratis selama ini di interpretasi terlalu berlebihan. Pandangan yang terbentuk di masyarakat bahwa pendidikan gratis artinya tidak lagi mengeluarkan dana. Sehingga masyarakat tidak pusing lagi memikirkan biaya anak-anaknya untuk bersekolah. Padahal, di negara ini tidak ada yang gratis. Buang air kecil saja butuh biaya, apa lagi mendapatkan pendidikan. Inilah salah satu bentuk kurang tangkapnya pemerintah akan permasalahan yang ada di masyarakat saat ini.
Inilah kehidupan akan pendidikan negara ini yang termakan politik di balik kursi kekuasaan. Mereka hanya mencanangkan tanpa merealisasikan dengan maksimal janji-janji sewaktu mereka mengemis kepada rakyat untuk dipilih. Pendidikan gratis, sangatlah luas maknanya. Akan tetapi, mereka mengartikan terlalu sempit makna akan pendidikan itu. Terjabarkan indah di saat kampanye, tapi sewaktu naik dan terpilih, janji itu seakan fatamorgana yang tak kunjung terealisasikan. Apakah ini menandakan pendidikan itu hanya komersialisasi? sehingga dengan menjual wacana pendidikan gratis para elit politik leluasa membombardir stabilitas kehidupan rakyat, yang terlalu berharap akan program tersebut.
Sampai saat ini, rakyat tak menyadari sedikitpun, bahwa mereka telah tertipu dengan pendidikan gratis yang seakan-akan program ini membantu rakyat terutama rakyat miskin. Akan tetapi itu hanya untaian kata, realisasinya malah merugikan rakyat miskin. Lihat saja azas keadilan serta kesetaraan seakan di nomor dauakan. Yang ada hanya orang kaya semakin kaya, orang miskin semakin miskin. sehingga ini tidak sesuai dengan idiologi Indonesia yang sangat superior yakni Pancasila.
Kasihan negeri ini, bila pemerintahannya hanya ahli dalam meng-hegemoni rakyatnya dengan perkataan yang halus, indah, bahkan sempurna. Sehingga rakyat hanya mengangguk dan menunggu kebijakan pro rakyat yang selama ini kurang di perhatikan pemerintah.
Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat negeri ini lebih termotivasi untuk berbenah diri. Dari pada sibuk dengan komersialisasi pendidikan gratis dengan dahlil ingin mendapatkan kursi di pemerintahan. Alangkah lebih baiknya jika elit politik saling bahu membahu menyelesaikan permasalahan pendidikan yang muncul ke permukaan. Sehingga penilaian rakyat bukan hanya janji yang tak pasti tetapi sebuah realisasi maksimal yang dibagun secara kekeluargaan tanpa menimbulkan efek yang negatif.
Sebut saja, dalam perbaikan Kurikulum yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Gembar-gembor kurikulum baru, katanya lebih baiklah, lebih tepat sasaran. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya.
Pemerintah sendiri seakan tutup mata, bahwa dalam prakteknya Guru di Indonesia yang layak mengajar hanya 60% dan sisanya masih perlu pembenahan. Hal ini terjadi karena pemerintah menginkan hasil yang baik tapi lupa dengan elemen-elemen dasar dalam pendidikan. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh. Menurut slogan jawa, guru itu digugu dan ditiru, tapi fakta yang ada, banyak masyarakat yang memandang rendah terhadap profesi guru, padahal tanpa guru kita tidak akan bisa menjadi seperti sekarang ini.
Sesuai dengan tujuan dan cita-citanya pendidikan kita haruslah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mungkin berkembang dari kata mencerdaskan banyak orang mengartikannya dengan mengambil berbagai kebijakan yang dapat membuat pendidikan di Indonesia bisa berkembang. Salah satu caranya unutk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mengadakan Ujian Nasional, nyatanya Ujian Nasional bukan menciptkan generasi yang cerdas namun menciptkan generasi yang rusak baik mentalnya maupun kerohaniaanya.
Siapapun tidak bisa membantah kalau Ujian Nasional telah menciptakan generasi yang rusak moralitasnya. Sebagaimana bisa kita lihat beberapa fenomena kecurangan dan kejahatan yang sering terjadi hinggat ditayangkan diberbagai media masa maupun media elektronik. Beberapa saat lalu Ujian Nasional tingkat SMA/MA dan setingkat lainnya telah diberlangsungkan namun meninggalkan bekas yang sangat memprihatinkan karena dimana-mana terjadi kecurangan yang patutnya tidak perlu terjadi.
Di daerah lainpun terjadi hal yang sama. Bahkan beberapa kepala sekolah tega menjual lembaran soal hingga mencapai jutaan rupiah. Dengan demikian inikah yang dinamakan mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesuai dengan cita-cita nasional.
Memahami dan menyadari bahwa berjuang dibawah tekanan, penjajahan dan ancaman bukanlah hal termudah. Namun karena adanya kemajuan pendidikan. Sehingga dalam tekanan apapun tidak akan pernah ada rasa gentar dan takut hanya demi memajukan pendidikan di negeri ini. Bertolak dari pada usaha dan kerja keras bersama seharusnya para pengambil kebijkan pendidikan di Indenesia dapat berpikir dan mencerna bagaimana solusi yang diambil agar semua kegiatan pendidikan yang terjadi tidak membuat sedih, piluh, dan dilematis pendidikan kita.
Fenomena keburukan yang terjadi saat ini bukan saja masalah Ujian Nasional, namun yang terjadi juga adalah biaya sekolah dari tahun ketahun yang semakin meningkat. sLihat saja anak sekolah saat ini, tentunya menyadari adanya lonjakan tingginya uang sekolah dari tahun ke tahun. Padahal berbagai janji manis seperti adanya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) akan membantu meringankan biaya sekolah, bahkan ada juga yang mengatakan dengan adanya dana bos maka pendidikan gratis. Apakah pendidikan saat ini di Indonesia gratis? Jangan mimpi bila pendidikan mau gratis.
Realisasi dana pendidikan yang dialokasikan menurut Undang-Undang bahwa 25% dari APBN dialkosikan untuk pendidikan. Namun kenyataan sampai sat ini semua itu tidak nampak. Dengan berbagai janji manis yang sengaja dilanggar ini memberi peringatan kepada kita bagaimana nasib pendidikan Indonesia di masa depan nanti. Bagaimana nanti nasib generasi yang akan datang? Generasi yang akan datang mau dikemanakan? Bagaimana seandainya generasi yang akan datang mengikuti kesalahan para pengambil kebijakan pendidikan. Apakah ini mau dikatakan sebagai generasi yang berbobot dan generasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita nasional yang telah tertera dalam Undang-Undang Dasar1945.
Tidak dipungkiri lagi bahwa pendidikan merupakan pengubah sejarah kehidupan. Suatu bangsa akan memiliki derajat dan martabat jika pendidikan di negara tersebut berkualitas, maka benarlah apa yang tertulis dalam Al Qur’an bahwa “ Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu” dan di pertegas lagi dengan hadist nabi “ Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat” memang secara eksplisit tidak disebutkan bahwa pendidikan adalah tonggak peradaban, akan tetapi sangatlah jelas bahwa Agama sangat menganjurkan umatnya untuk menuntut Ilmu, sehingga sangatlah bijak para founding father bangsa ini mengamanatkan untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” yang tersirat dalam UUD 1945.
Jika kita lihat fakta pendidikan saat ini, sangat memprihatinkan. Jika dilihat dari kebijakan politik pemerintah terkait dengan pendidikan sangatlah miris kita melihatnya, yakni dengan UU BHP, di dalam UU tersebut jelas sekali bahwa Pendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi serta pendidikan non/in formal termasuk dalam Badan Usaha Terbuka yang memperkenankan para investor untuk menanamkan modalnya maksimal 45 %. Artinya, para investor asing akan dengan bebasnya menanamkan modal untuk penyelenggaraan pendidikan, tentunya ini memiliki dampak positif dan negative.
Adapun dampak positifnya adalah institusi pendidikan akan berpacu untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sehingga akan muncullah sekolah berstandar Internasional, dan perguruan tinggi akan menjadi World Class University. Akan tetapi dampak negatifnya adalah: Semakin mahalnya biaya pendidikan, karena Penyelenggaran pendidikan tidak lagi murni untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan, melainkan menjadi suatu komoditas, alhasil kesempatan menikmati dan mendapatkan layanan pendidikan akan semakin sempit, karena yang memperolehnya hanyalah segelintir orang yang memiliki modal dan kecerdasan, sehingga rakyat yang tidak memiliki modal dan keterbatasan kemampuan akan tersingkirkan dengan sendirinya, iniliah yang disebut dengan Pembodohan yang tersistem, dan akan mengarah kepada Kemiskinan tersistem.
Jika kita lihat fakta lainnya ialah dari segi kurikulum, kurikulum pendidikan sangatlah jauh dari harapan untuk membangun karakter kebangsaan, akan tetapi lebih kepada membentuk karakter pekerja. Contoh kasus, Mata pelajaran sejarah, Geografi, dan Agama tidak menjadi prioritas dalam pembelajaran, karena di kalahkan oleh Matematika dan Bahasa Inggris, artinya bahwa Mata pelajaran Sejarah dan geografi merupakan mata pelajaran yang akan membentuk karakter kebangsaan para peserta didik, dan mata pelejaran Agama akan membentuk moralitas peserta didik, akan tetapi mata pelajaran tersebut diabaikan. Kemudian bagaimana akan terbentuk karakter bangsa itu, maka wajar saja para peserta didik saat ini, lebih banyak menghapal lagu-lagu pop dari pada lagu kebangsaan, dan tidak mengenal geografis bangsa nya sendiri. Dan yang lebih fatal lagi adalah sering terjadi tawuran antar pelajar dan perbuatan seks bebas dikalangan pelajar.
Dan jika dilihat dari sarana dan prasarana, setidaknya film Denias yang menceritakan pendidikan di Papua, dan Laskar Pelangi di Pulau Belitung merupakan representasi kondisi pendidikan di Nusantara, betapa hancurnya sistem pendidikan ini, sehingga masih banyak generasi bangsa tidak mendapatkan kenyamanan dalam menjalani proses pendidikan.
Selanjutnya adalah tenaga pendidik, memang akhir-akhir ini, kesejahteraan pendidik sedikit mulai terjamin, dengan program sertifikasi para pendidik mulai mendapatkan kesejahteraan, akan tetapi yang terpenting adalah peningkatan kualitas pendidik, yaitu dengan meningkatkan kompetensinya sebagai pendidik, maka oleh karena itu, suatu keniscayaan bagi pemerintah untuk tetap memfasilitasi para pendidik untuk selalu meningkatkan kompetensi pendidik, baik itu kompetensi Pedagogik, Kompetensi Profesional, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Kepribadian. Karena ditangan merekalah generasi bangsa akan lahir.
Mungkin hal-hal itulah yang selayaknya dilakukan oleh pemerintah dan elit politik bila ingin melihat Indonesia lebih baik. bukan dengan komersialisasi pendidikan gratis yang hanya membuat rakyat semakin berharap kepada negra. sehingga jiwa untuk berusaha seakan kempes dan akhirnya tinggal kenangan. Majulah pendidikan Indonesia. Aku bangga, walau hati tak seirama.



DAFTAR PUSTAKA
Koran Fajar (Tanggal 19 Mei 2011). Ilham (Walikota Makassar) ingin melepas program Pendidikan Gratis.
http://www.geramtolakbhp.blogspot.com/Potret Dunia Pendidikan Indonesia. (Diakses yanggal 18 Mei 2011)
http://beritasore.com/2007/07/03/uu-bhp-tidak-mengarah-privatisasi-perguruan-tinggi/. (Diakses yanggal 18 Mei 2011)



BIODATA


Judul Naskah                             : Pendidikan Gratis Dibalik Kursi Politik
NAMA PENULIS                    : Muhammad Fadhly Ali
Tempat & Tanggal Lahir            : Makassar, 22 Februari 1991
Nama Perguruan Tinggi             : Universitas Hasanuddin
Nama Fakultas, Jurusan             : FISIP, Ilmu komunikasi
NIM                                           : E31110267
Domisili                                      : Komp. Puri Taman Sari Blok B2/15B
Alamat Email                             : andi_nosel06@yahoo.com
FB                                              : Fadhly Muhammad
Twitter                                       : @DaeNg_FadHLy
Blog                                           : http://pangerankarya.blogspot.com
Telepon                                      : (0411) 457-834
Ponsel                                         : 085656284832/085239653538
Nomor Rekening                        : 0117948341 atas nama Nur Fadillah Ali