5.06.2012

PRAGMATISME MENJADI TO SUGI DAN TO KAPUA DI TORAJA



 

 
TUGAS INDIVIDU ILMU POLITIK






R E S U M E
PRAGMATISME
TO SUGI DAN TO KAPUA DI TORAJA



MUHAMMAD FADHLY ALI
E31110267







JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
20­10

PRAGMATISME MENJADI TO SUGI DAN TO KAPUA DI TORAJA
By: George J. Aditjondro
Resume
Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Jurusan Politik Universitas Hasanuddin pada tanggal 27 September 2010 sungguh sangat menarik. Mengingat seorang penulis kritis yang selama ini dikenal kontroversi, di beberapa media mengenai bukunya Gurita Cikeas ini, datang ke Universitas Hasanuddin untuk berbagi informasi mengenai buku barunya yang berjudul “Pragmatisme menjadi To Sugi dan To Kapua di Toraja”. Mendengar dan melihat judul tersebut sungguh sangat tabuh untuk kita perbincangkan. Karena, hal ini sukar untuk kita tunjukkan kebenaranya sebelum mencari refrensi baik itu dari warga Toraja dan juga politikus-politikus yang ada di sana.
Sesuai tugas yang di berikan oleh bapak Sukri selaku dosen Ilmu Politik mengenai resume dari penjelasan George J. Aditjondro mengenai bukunya tersebut. Saya hanya dapat berkarya apa adanya sesuai dengan apa yang saya dengar dan apa yang saya nalari dari penjelasan Beliau.
Dalam pengantar dari bukunya tersebut oleh beliau sudah jelas mengarah pada rana ekonomi politik. Yang saya tangkap dari penjelasan tersebut, bahwasanya politik itu dianggap sebagai kekuatan dan pembagian kekuasaan. Di mana unsur bisnis politik, yakni saling berkerja sama untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dan setelah berhasil, maka tanda terima kasih yang setimpal sudah menanti.
Sungguh sangat ironi, melihat hal ini membudidaya di negara kita. Bukannya memelih orang-orang yang berintelektual, berakhlaq serta sesuai dalam bidangnya. Malah orang-orang yang berwawasan kurang meskipun kaya sering saja kita temui di beberapa wilayah di Indonesia baik itu dalam bidang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Mengapa hal ini bisa terjadi?? Tentunya efektifitas politik mereka berjalan sesuai harapan.
Melihat yang terjadi di Toraja, di mana melalui pilkada Tolut (Toraja Utara) para calon bupati bersaing untuk memperebutkan jabatan tersebut. Bila dikaitkan dengan judul buku Jusuf Aditjondro ini. Tentunya menjadi bupati sama dengan to sugi (kaya) dan to kapua (berderajat). Saya rasa itu tujuan yang tercium kritis oleh beliau. Mengapa demikian?
Melihat kekuatan politik yang dimiliki oleh tiap-tiap calon bupati yang ada. Rata-rata berlatar belakang pengusaha dan ada juga mantan wakil bupati disalah satu wilayah di pulau Papua. Melihat latar belakang status sosial tersebut saya rasa sangat tidak maksimal. Bukannya calon bupati yang berlatar belakang politik yang kuat serta didukung oleh intelektual akhlaq dan tentunya tahu menahu semua tentang Tolut dari akar-akarnya. Sungguh sangat tisak masuk akal.
Disinilah mulai muncul kecurigaan. Sebenarnya, apa kepentingan mereka untuk menjadi calon bupati di Tolut?? Membahas pertanyaan tersebut hanya hal yang berbau negatif yang ada di kepala kita. Akan tetapi inilah hal yang menarik di mana mereka terjun ke dunia politik ini, sebagai sebuah pondasi kekuatan untuk mewujudkan kepentingannya itu. Bayangkan saja, Tolut merupakan daerah yang dikenal dengan Sumber Daya Alam yayng melimpah. Mulai dari, tambang emas, kebun kopi, dll.
Saya kira sudah jelas kepentingan mereka untuk jadi orang nomor satu di Tolut itu apa. Salah satunya yakni memperkaya diri dengan mengeksploitasi SDA yang ada. Mengapa demikian?? Sudah bukan hal yang tabuh lagi bila modal seorang bupati sangat besar. Yang baru-baru saya dapatkan dari refrensi salah satu media cetak. Bahwasanya salah satu parpol besar mengatakan bahwa: “kalau ingin menjadi kader parpol ini, paling sedikit 5 (lima) milyar uang pangkal itu anda berih ke partai sebagai sebuah syarat” melihal hal tersebut maka calon bupati berapa yah??
Gali lobang yang seing kita jumpai menimbulkan polemik yang amat sangat tercium di Pilkada Tolut ini. Muncul pertanyaan, dari mana mereka mendapatkan modal yang begitu besar tersebut? Belum lagi ketika mereka kampanye dll. Sungguh modal yang terbilang wah. Bayangkan saja, gaji mereka berapa, baguslah kalau mereka pengusaha. Menjalin chenel, bekerja sama untuk menutupi pengeluaran tersebut merupakan salah satu hal yang mereka perbuat. yah kalau sudah seperti itu muncullah pertemanan koalisi. Sehingga apabila salah satu dari mereka naik. Kolusi dan nepotime sangat besar akan terjadi, diikuti oleh korupsi.
Karena koalisi mereka, politik negatif akan tercium dan tentunya dapat merusak stabilitas negeri kita dan khususnya Tolut sendiri. Maka sebagai seorang rakyat yang baik dan ingin melihat RI ini maju. Pilihlah pemimpin yang sesuai dengan apa yang diharapkan yakni berintelektual, berakhlaq, dan mengetahui seluk beluk daerah kita. Jangan sampai kita terbutakan dengan money politik yang sungguh mengambrukkan moral kita kedapan. Jadilah pemilih yang sehat baik itu sehat pemikiran kritis dan tentunya sehat adil tanpa ada nepotisme sedikitpun. Baggalah menjadi rakyat Indonesia bukan karena hal negartif. Tetapi dalam hal positif. Merdeka.