|
|
R E S U M E
PRAGMATISME
TO SUGI DAN TO KAPUA DI TORAJA
MUHAMMAD
FADHLY ALI
E31110267
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2010
PRAGMATISME MENJADI TO SUGI DAN TO
KAPUA DI TORAJA
By: George J. Aditjondro
Resume
Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Jurusan Politik
Universitas Hasanuddin pada tanggal 27 September 2010 sungguh sangat menarik.
Mengingat seorang penulis kritis yang selama ini dikenal kontroversi, di
beberapa media mengenai bukunya Gurita
Cikeas ini, datang ke Universitas Hasanuddin untuk berbagi informasi
mengenai buku barunya yang berjudul “Pragmatisme
menjadi To Sugi dan To Kapua di Toraja”. Mendengar dan melihat judul
tersebut sungguh sangat tabuh untuk kita perbincangkan. Karena, hal ini sukar
untuk kita tunjukkan kebenaranya sebelum mencari refrensi baik itu dari warga
Toraja dan juga politikus-politikus yang ada di sana.
Sesuai tugas yang di berikan oleh bapak Sukri selaku dosen
Ilmu Politik mengenai resume dari penjelasan George J. Aditjondro mengenai
bukunya tersebut. Saya hanya dapat berkarya apa adanya sesuai dengan apa yang
saya dengar dan apa yang saya nalari dari penjelasan Beliau.
Dalam pengantar dari bukunya tersebut oleh beliau sudah jelas
mengarah pada rana ekonomi politik. Yang saya tangkap dari penjelasan tersebut,
bahwasanya politik itu dianggap sebagai kekuatan dan pembagian kekuasaan. Di
mana unsur bisnis politik, yakni saling berkerja sama untuk mendapatkan hasil
yang maksimal, dan setelah berhasil, maka tanda terima kasih yang setimpal
sudah menanti.
Sungguh sangat ironi, melihat hal ini membudidaya di negara
kita. Bukannya memelih orang-orang yang berintelektual, berakhlaq serta sesuai
dalam bidangnya. Malah orang-orang yang berwawasan kurang meskipun kaya sering
saja kita temui di beberapa wilayah di Indonesia baik itu dalam bidang
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Mengapa hal ini bisa terjadi?? Tentunya
efektifitas politik mereka berjalan sesuai harapan.
Melihat yang terjadi di Toraja, di mana melalui pilkada Tolut
(Toraja Utara) para calon bupati bersaing untuk memperebutkan jabatan tersebut.
Bila dikaitkan dengan judul buku Jusuf Aditjondro ini. Tentunya menjadi bupati
sama dengan to sugi (kaya) dan to kapua (berderajat). Saya rasa itu tujuan yang
tercium kritis oleh beliau. Mengapa demikian?
Melihat kekuatan politik yang dimiliki oleh tiap-tiap calon
bupati yang ada. Rata-rata berlatar belakang pengusaha dan ada juga mantan
wakil bupati disalah satu wilayah di pulau Papua. Melihat latar belakang status
sosial tersebut saya rasa sangat tidak maksimal. Bukannya calon bupati yang
berlatar belakang politik yang kuat serta didukung oleh intelektual akhlaq dan
tentunya tahu menahu semua tentang Tolut dari akar-akarnya. Sungguh sangat
tisak masuk akal.
Disinilah mulai muncul kecurigaan. Sebenarnya, apa kepentingan
mereka untuk menjadi calon bupati di Tolut?? Membahas pertanyaan tersebut hanya
hal yang berbau negatif yang ada di kepala kita. Akan tetapi inilah hal yang
menarik di mana mereka terjun ke dunia politik ini, sebagai sebuah pondasi kekuatan
untuk mewujudkan kepentingannya itu. Bayangkan saja, Tolut merupakan daerah
yang dikenal dengan Sumber Daya Alam yayng melimpah. Mulai dari, tambang emas,
kebun kopi, dll.
Saya kira sudah jelas kepentingan mereka untuk jadi orang
nomor satu di Tolut itu apa. Salah satunya yakni memperkaya diri dengan
mengeksploitasi SDA yang ada. Mengapa demikian?? Sudah bukan hal yang tabuh
lagi bila modal seorang bupati sangat besar. Yang baru-baru saya dapatkan dari
refrensi salah satu media cetak. Bahwasanya salah satu parpol besar mengatakan
bahwa: “kalau ingin menjadi kader parpol ini, paling sedikit 5 (lima) milyar uang
pangkal itu anda berih ke partai sebagai sebuah syarat” melihal hal tersebut
maka calon bupati berapa yah??
Gali lobang yang seing kita jumpai menimbulkan polemik yang
amat sangat tercium di Pilkada Tolut ini. Muncul pertanyaan, dari mana mereka
mendapatkan modal yang begitu besar tersebut? Belum lagi ketika mereka kampanye
dll. Sungguh modal yang terbilang wah. Bayangkan saja, gaji mereka berapa,
baguslah kalau mereka pengusaha. Menjalin chenel, bekerja sama untuk menutupi
pengeluaran tersebut merupakan salah satu hal yang mereka perbuat. yah kalau
sudah seperti itu muncullah pertemanan koalisi. Sehingga apabila salah satu
dari mereka naik. Kolusi dan nepotime sangat besar akan terjadi, diikuti oleh
korupsi.
Karena koalisi mereka, politik negatif akan tercium dan
tentunya dapat merusak stabilitas negeri kita dan khususnya Tolut sendiri. Maka
sebagai seorang rakyat yang baik dan ingin melihat RI ini maju. Pilihlah
pemimpin yang sesuai dengan apa yang diharapkan yakni berintelektual,
berakhlaq, dan mengetahui seluk beluk daerah kita. Jangan sampai kita
terbutakan dengan money politik yang sungguh mengambrukkan moral kita kedapan.
Jadilah pemilih yang sehat baik itu sehat pemikiran kritis dan tentunya sehat
adil tanpa ada nepotisme sedikitpun. Baggalah menjadi rakyat Indonesia bukan
karena hal negartif. Tetapi dalam hal positif. Merdeka.